The story of Secret Admirer
Sebuah sms terpampang pada ponsel
seorang temanku sore itu, sebutlah ia Ratih. Ratih kemudian membukanya
dengan refleks. Sebuah nomor tak dikenal ia temukan dengan serangkaian pesan
singkat. Sms itu berbunyi “kamu cantik”. Ratih melengos setelah membacanya, dan
kemudian sms itu dihapusnya tanpa pikir panjang.
Pernahkah kalian mengalami
peristiwa demikian? Entah itu pada posisi Ratih, atau malah sebagai si pemilik
nomor tak dikenal? Sungguh, aku yakin sebagian besar dari kalian menjawab
“pernah”, walaupun mungkin pada kondisi yang berbeda.
Kisah diatas merupakan salah satu
gejala dalam kehidupan. Kita ditakdirkan untuk menarik dan tertarik. Estetika
diciptakan Tuhan untuk memperlengkap hidup, dan ia akan muncul saat kita menjumpai
sebuah hal yang istimewa untuk dimiliki. Admire, begitulah kosakata super keren
orang Inggris yang kemudian kita pahami sebagai “memuja” dalam serapan bahasa
yang kita gunakan.
Kita lebih bisa memahami arti
kata admire saat menyukai lawan jenis kita secara sembunyi-sembunyi. Hal itulah
yang lambat laun naik derajat menjadi rahasia. Kelak kita akan menyandang
status Secret Admirer saat sesuatu yang terpendam, lebih berharga jika tanpa
seorangpun yang tau.
Menarik untuk dikaji, karena admire
secretly adalah sebuah keadaan mengagumi yang indah, sekaligus menyiksa. Kompleksitasnya
sanggup menggugah perasaan siapa saja.
Maka dari itulah, akan lebih baik jika saja aku memberikan
sebuah cerita mengenai hal ini. kebetulan
sekali karena aku pernah beberapa kali menyandang status tak berdosa
itu. :D. Mari disimak.
Kita akan menuju
tahun 1998. Tahun revolusioner bagi Negara amburadul kita ini. Aku masih duduk
di kelas 4 sebagai anak penurut bagi kedua orangtuaku waktu ituJ.
Saat itu adalah saat dimana aku
belum menyadari bahwa Hitler sudah mati, aku lebih sibuk pada bagaimana aku
merayu bapakku agar mendapat uang jajan lebih, karena aku suka sekali membeli
batagor sepulang sekolah. Kisah SD ku agaknya memang biasa saja, lumrah
diceritakan sebagai masa-masa yang agak special, yaaa karena itu tadi, masalah
seputaran uang jajan dan perasaan waswas karena aku menuju periode waktu yang
mengerikan, disunat.
Waktu itu aku duduk di halaman
rumah sepulang sekolah, aku mengeluarkan kelereng ku yang sensasional. Aku akan
bertarung kelereng dengan teman-temanku hari itu. Sebuah rutinitas yang saat
itu kuakui sangat seru. Kalian harus tau, facebook belum ada di jaman itu,
sehingga masa-masa kecilku hanya dihiasi kantong celana yang sobek akibat
sering kujadikan wadah kelereng jika saat menang besar.
Kebetulan hari itu adalah hari
sialku, koleksi kelerengku ludes. Aku dikalahkan dengan memalukan. Tanpa
perlawanan yang mungkin bisa dijadikan alasan. Kemudian aku memutuskan untuk
beranjak dari tempat itu. Aku sudah bisa memahami sebuah kekalahan waktu itu.
Rasanya sungguh menyesakkan.
Aku berjalan menuju sungai di
belakang Hotel Sahid, agak jauh memang. Di tempat itulah aku biasanya menemani
Mbah Jo, menggembalakan bebek, dan hal itu sangat menghiburku, dalam keadaan
apapun. Kekalahan bermain kelereng hari itu, kuanggap titik nadir, dan maka
dari itulah aku membutuhkan suasana di sungai itu untuk membunuh kekesalanku.
Singkat cerita, saat berjalan itulah aku berpapasan dengan tetanggaku, beberapa
orang teman perempuanku bersepeda. Aku lupa siapa saja , hanya saja ada satu
yang tak kukenal. Seorang gadis berambut panjang, mengenakan baju dan rok sederhana.
Tersenyum simpul kepadaku kemudian menunduk. Mata kami bertemu hanya
sepersekian detik, namun, kusadari bahwa tanpa diperintahkan, tatapan ini
mengejarnya sampai ia lenyap dibalik tikungan kampung. Kelak aku tau, bahwa
gadis itu adalah warga baru di kampungku. Dan, aku tak bisa menampik kalau aku
tertarik padanya saat itu juga. Jangan tertawa.
Hari-hari berikutnya aku tidak
lagi sibuk merengek minta uang jajan bapakku, atau menyusun rencana pembalasan
dendam atas terkurasnya kelerengku tempo hari, aku lebih disibukkan dengan
mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang gadis berambut panjang yang
kutemui kemarin lusa. Aku menanyakan kesana-kemari (dengan basa-basi dan tanpa
kujelaskan maksudnya) kepada siapapun teman seumuranku yang kukenal. Nihil. Tak
seorangpun tau siapa dia. Aku serasa memasuki kesibukan luar biasa(lebay) yang
kuciptakan sendiri. Hari itu adalah hari dimana seorang anak kecil ingusan
tanpa celana dalam, untuk pertama kalinya tertarik pada seorang gadis. Entah
kenapa, mungkin Tuhan bosan melihatku menjalankan aktivitas yang itu-itu saja,
maka dibangkitkannya lah hasrat di dalamku. Aku tak bisa apa-apa kawan. Dan aku
memahami dari hari itu, bahwa seorang gadis yang tak kaukenal, sanggup
mengacaukan duniamu dalam sekejap.
Aku tak kenal lelah, dan tak
terasa setahun pun berlalu. Dan kau tau? pada akhirnya, aku berhasil mengetahui
namanya. Setelah setaun !
Kusamarkan dia dengan nama “Kenanga”.
Biar keren dan tentu saja melindungi identitas gadis itu dari persepsi kalian
yang membaca ini. Kenanga lebih tua
setahun dariku. Dan yang membuatku geram setengah mati adalah bahwa rumahnya
hanya beda 4 rumah dariku. Dan aku mengetahuinya setelah setaun, sekali lagi,
setelah setahun. Mengenaskan.
Kenanga adalah tipe gadis pemalu.
Ia hanya bicara jika perlu. Berbanding terbalik denganku yang hobi membual. Aku
mengenalnya hanya sebatas nama, aku tak berani mengajaknya bicara, bahkan bertemu
dengannya. Aku hanya beranii memandangnya dari kejauhan. Ia tak sadar bahwa
mulai hari itu hidupnya kujejali mimpi, bahwa suatu saat, aku dan dia akan
berbicara tentang sebuah pengakuan. Entah kapan.
Masa SD yang harusnya
menyenangkan itu serasa tambah menyenangkan bagiku, karena sebuah rasa kagum
yang terpendam pada seorang gadis tetangga. Yang hanya kutau nama dan tanggal
lahirnya. Aku masih berada pada fase “ingin kenalan”, tapi Tuhan ternyata
menumbuhkan jiwa pengecut padaku saat itu. Aku ingin berinteraksi dengannya,
tanpa bertatap muka langsung. Kemudian terlintas di kepalaku sebuah gambar
kertas dan amplop. Ya, aku akan menyuratinya. Surat berisi sebuah pengakuan
kepada seorang gadis yang lebih tua dariku. Sungguh tidak gentleman.
Aku sibuk menata bait kata pada
selembar kertas yang akan dia baca ini. Bingung. Bagaimana aku memulainya?
Ingat, aku masih 10 tahun saat itu, dan aku sudah berpikir bagaimana menggaet
hati seorang gadis. Setelah mencoret-coret tak karuan, dan setelah berdoa pada
Tuhan beberapa kali, aku mulai menuliskan sebuah niat bahwa aku ingin sekali
berkenalan dengannya. Beres. Tapi kemudian timbul lagi satu masalah. Bagaimana
aku memberikan surat ini? Kapan? Dalam event apa? Oh God, help me one more time
.
Akhirnya setelah berusaha kurang
maksimal, akupun menitipkannya pada seorang temanku yang kebetulan kenal dengan
kenanga. Pengecut part 2 kan?
Tiba akhirnya pada masa-masa
mengerikan selain disunat. Masa-masa menunggu balasan si surat. Pada saat
itulah aku tak berani lagi mencuri-curi pandang kenanga. Aku takut kalau saja
dia sudah membaca surat itu dan menyobeknya. Pernah suatu ketika kami tak
sengaja berpapasan. Aku hanya menunduk dan dia pun berlalu. Lagi-lagi tidak
keren. Sebulan, kira-kira, setelah aku mengirimnya surat, temanku yang kupaksa
jadi kurir cinta itu datang ke rumahku membawa sepucuk surat beramplop pink.
Aku menerimanya dengan senang sekaligus waswas. Kira-kira apa isinya? Sebuah
sambutan? Atau cacian? Atau malah selembar uang seribu untuk membeli batagor?
Ahh lupakan saja.
Aku memberanikan diri membacanya
setelah dua hari sejak surat itu tiba. Aku tidak melafalkan bismiillah saat
menyobek bagian atas amplop karena belum akil balig. Kujumpai sebuah bacaan
kira-kira begini “dear Adit…” (sumpah pengen muntah rasanya cerita masalah ini)
:D
Kuteruskan membacanya kata demi
kata, aku belajar untuk menjadi seorang laki-laki saat itu, dan siap akan
segala jawaban yang mungkin akan membuatku kecewa. Setelah beberapa menit
tenggelam dalam dunia suratnya, aku akhirnya bisa tersenyum simpul. Suratku,
yang berisi basa-basi tak penting tentang ajakan sebuah perkenalan, dibalasnya
dengan sebuah sambutan bersedia. Aku adalah manusia paling bahagia yang
diciptakan Tuhan pada periode sebelum sunat itu. Semenjak hari itu, aku
berkirim surat dengan kenanga. Membicarakan hal-hal yang kuakui kurang penting,
dan aku menyukai nuansa saat itu. Tapi tetap saja, kami saling menunduk saat
kami tak sengaja berjumpa. Konyol sekali. Pada pertengahan cerita ini,
pangkatku turun, sudah bukan Secret Admirer lagi. Aku menjadi Admirer
teng-terangan.
Dua tahun sejak tatapan mata
pertama itu, aku bertemu dengannya pada waktu yang tanpa diduga-duga. Di rumah
temanku, saat aku akan meminjam sebuah kaset band Tipe-X yang gandrung dengan
aliran ska-nya itu. Aku dan Kenanga tak sengaja bertemu saat ada di ruang tamu
rumah temanku, kelak aku akan tau kalau kita ini dijebak oleh si empunya rumah,
dan saat itu juga emosiku terkalahkan pada sebuah kesadaran bahwa cepat atau
lambat, periode seperti ini akan terjadi juga. Maka, aku harus berani berbicara
dengannya, karena ia sudah ada di depanku semenjak 10 menit yang lalu. Dan, tak
ada satupun kata yang kami keluarkan. Aku bingung, maka aku berdoa lagi memohon
kekuatan agar mampu memecah kesunyian dengan suara. Aku akhirnya mampu. Satu
kata yang akhirnya keluar adalah “apa kabar” dan setelah itu, perbincangan kami
direstui Tuhan. Kami bercerita tentang apapun, dari sikapnya saat itu, aku
belum menyadari, bahwa Kenanga mempunyai perasaan yang sama terhadapku
(pengakuannya kuketahui 7 tahun setelah cerita ini). Aku terpenjara pada sebuah
keyakinan bahwa perasaanku kepadanya, hanya satu arah saja. Aku terpuruk pada
sebuah prasangka yang kubuat sendiri. Perbincanganku dengannya hari itu, adalah
yang pertama, dan mungkin yang terakhir. Setelah itu, hari demi hari, bulan
demi bulan, tahun demi tahun, kami tak pernah lagi berinteraksi. Aku masuk SMP,
dia juga. Dia masuk SMA, aku persiapan UAN SMP. Waktu terasa sangat cepat
berlalu, dengan berbagai macam alasan yang membuatku semakin jauh dengannya. Aku mungkin sudah
jatuh cinta dengan orang lain, begitu juga dengannya, tanpa pernah mengusik
lagi sebuah cerita yang belum selesai. Mengenaskan, lagi-lagi.
Jaman aku mulai kuliah, tahun
2007. Aku tak sengaja lagi bertemu dengannya di sebuah jalan kampung. Lucu
memang, rumah kami berdekatan tapi jarang sekali bertemu, serasa ada sebuah
benua mungkin di antara rumah kami, entahlah. Aku menyapanya saat itu, dia
membalas sapaanku dengan senyum. Malamnya, aku menerima sebuah pesan singkat, nomor
tak dikenal. Hanya sebuah greeting “Adit, apa kabar?”
Kubalas sms itu, dan ternyata itu
adalah nomor Kenanga. Aku kembali pada masa-masa kecil dulu, hanya saja
ponselku kini menggantikan surat sebagai ajang kami bercerita. Aku dan Kenanga
larut pada zaman sms, padahal rumah kami hanya beberapa jengkal, tapi yaah
kalian pasti juga paham, kalau tulisan kadang lebih bisa berbicara yang
sebenarnya daripada mulut. Kami bertukar cerita, tentang apapun, kabar,
kesibukan, dan mungkin sedikit basa-basi. Dia menanyakan apakah aku sudah punya
pacar. Kujawab sudah, dan dia pun menceritakan bahwa dia juga sudah. Aku
tersenyum saat itu. Kami ini hanya manusia yang dipermainkan oleh waktu, dan oleh
kebodohan kami sendiri. Dia pernah mengungkit masa lalu kami, dan kami hanya
menertawakannya. Sudah tidak ada lagi perasaan yang harus diselesaikan, kami
hanya menganggapnya sebuah cerita yang tak perlu dibicarakan lebih lanjut, dia
pernah menyesalkanku bahwa dia suka padaku. Dan dia menyesal bahwa dia tidak
berusaha mengenalku lebih jauh saat itu. Aku mungkin mempunyai tanggapan yang
sama. Tapi, semuanya sudah selesai. Hubunganku dengan Kenanga baik-baik saja,
bahkan dia pernah berkenalan dengan Arini, gadisku yang sekarang. Tidak ada
lagi apa-apa, semua sudah dikembalikan pada keadaan semula oleh Tuhan, pada
sebuah masa dimana tatapan mata di siang itu, tahun 1998, belum terjadi.
Dia sudah menikah bulan April
tahun ini, dan menitipkan pesan padaku bahwa aku harus menyusulnya bersama
Arini. Kuanggap itu sebuah doa yang harus kuamini.
Beginilah, sebuah cerita yang
cukup panjang, kutandatangani sebagai sebuah tema blog ini, dan kuakhiri hari
ini juga. Manusia, pernah mengagumi, dan dari rasa kagum itulah, sebuah masa
depan yang bagaimana, terserah pada seberapa besar tekadmu mewujudkannya.