Dan kisah itu berjalan cepat sekali, seperti seuntaian elegi.
Sinar matanya sudah redup, ia lelah luar biasa.
Kelak kau akan lihat padaku, sebuah mobil-mobilan kayu
Teronggok megah tanpa pernah kutau
Yang diberikannya, saat senja di akhir November
Ia memegang cangkul yang berujung karat
Dicampakkanya aku, di sebuah dipan saat pagi menjejak maju
Aku terpana, pada sebuah cinta yang tak kusadari
Bahwa hari itu, ia memperjuangkanku sebuah nasi jagung, yang tak pernah mau kumakan
Hari itu, saat tangisku menggema tak merdu
Ia menggengam tanganku, dan mengusap rambutku penuh harap
Dan saat siku tanganku berdarah, ia menyeka mataku hingga kering
Mata yang tak mampu melihat kehebatannya dengan saksama
Salahkah aku, saat akhirnya ia berseru, dan aku tak mendengarnya.
Ayahanda, tak pernah menganggapnya sebuah dosa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar