Selasa, 20 Agustus 2019

Buta


Ceritanya bermula dari sebuah film, yang filenya sudah di laptopku dari tahun 2010, saat aku kuliah. Film yang mungkin semua orang sudah pernah menonton nya. Sebagian dari itu pernah menonton dan memahaminya, sebagian lagi dari itu pernah menonton dan berlalu begitu saja, sementara sisanya pernah menonton dan lalu kemudian mencocok cocokkan nya dengan kehidupannya. Well, kalian bisa masuk kategori diantara ketiganya. Terserah.
Ya, 500 days of Summer. Film yang awalnya kukira film romansa cengeng tentang musim panas di belahan dunia lain. Aku akan melewati nama film nya bahkan ketika aku memilih akan menonton film apa di saat aku sedang senggang untuk membunuh bosanku.

Film ini jalan ceritanya sangat sederhana, tentang kehidupan sehari – hari yang juga sangat biasa. Tentang seseorang yang tidak pernah percaya dengan sebuah ikatan, dan seseorang lagi yang sangat peduli dengan ikatan, hanya saja ia mengesampingkan itu karena sebuah kenyamanan dan obsesi.

Aku hanya akan tersenyum, bukan karena aku menyukai film nya, hanya saja apa yang telah dilakukan Summer dan apa yang telah dilakukan Tom merupakan hal yang memang sudah sangat biasa terjadi. Orang akan selalu datang, begitupun pergi. Tidak ada yang akan mampu menyangkal itu. Hanya caranya saja yang berbeda, ada yang pergi karena meninggal, seperti yang sudah kurasakan berminggu lalu karena ditinggal bapakku, ada yang memang pergi karena sudah merasa tidak nyaman. Dan yang patut diingat, yang namanya ditinggal pergi memang akan merasakan sakit yang luarbiasa. Sakit yang akan susah sembuhnya. Tapi ada satu hal lain, dimana pergi akan dianggap lebih baik karena bertahan ternyata memang lebih sakit rasanya. Well, banyak peribahasa yang bilang begitu.

Aku memang mengakui, pernah seperti Tom, dan akupun pernah seperti Summer. Aku tidak bisa bilang aku salah, karena aku menjalaninya berdasarkan keyakinan, dan juga kenyamanan. Damn right, egois.

Seseorang bisa sangat dekat karena banyak hal, seperti mempunyai hobi yang sama, mempunyai chemistry yang cocok, mempunyai kegilaan yang sama, mempunyai apapun yang semuanya bisa dikategorikan alasan, bahkan perbedaan pun bisa jadi alasan. Jangan tidak percaya, manusia bisa menjadikan apapun jadi masuk akal, mereka adalah makhluk yang tak pernah mau disalahkan.
Menulis ini . jari tanganku gemetaran. Kalau yg namanya perpisahan akan datang kapan saja. Tak peduli kamu sedang sangat nyaman, tak peduli kamu sedang sangat sangat bahagia, perpisahan akan selalu mengincarmu. Jangan tidak siap, karena kamu akan kalah. Walaupun siap juga belum berarti kamu akan memenangkan perasaan. 

Jangan pernah berfikir kalau meninggalkan bukan selalu jadi orang yang paling jahat, ada kalanya meninggalkan karena sudah tidak tahan dikecewakan, ada yang meninggalkan karena sudah muak menaruh harapan. Semuanya akan berlalu dan berdiri dengan memegang pendirian, untuk akan berdiri bersama keyakinannya, dan meneruskan hidupnya berdasarkan keyakinan itu.
Selamat datang pada dunia kesedihan, yang hanya akan kamu sendiri yang menikmatinya. Tidak buruk, hanya saja, juga tidak bagus. Tapi, inilah hidup. Sesuatu yang dilukiskan abadi kepada masing – masing darimu, maka jalanilah.
 

Rabu, 12 Oktober 2016

Deja Vu

Pertengahan Oktober 2014 yang lengang, di sebuah kafe remang tempatku menyalakan laptop.
Kafe ini sepi, kafe yang sangat kusukai untuk melepas lelah. Suasana yang tenang, lampu yang menyala malas, dan segelas coklat selalu kupesan tiap kali singgah. Tak ada yang lebih melegakan selain ini.
Laptop ku sudah menyala – lebih tepatnya laptop adikku yang kupinjam- , dan aku kembali membuka file microsoft excel yang sudah beberapa tahun kuakrabi. Deretan angka, lika-liku rumus berkelebatan tiap kali aku pelototi, semuanya sudah terasa tak asing, dekat sekali dengan ingatan payahku yang terbatas di jam-jam tertentu.
Kuambil pulpen pilot dari saku tas , kugoreskan diatas nota tagihan yang selalu datang tiap hari di hidupku, aku malas saja, sambil membayangkan hal apa saja yang sudah terjadi hari ini.
Aku memang seperti ini, aku suka sekali mengingat-ingat hal yang sudah terjadi. Aku suka sekali mengingat tempat-tmpat mana yang kusinggahi. Entah mengapa, aku menikmati saat-saat menikmati musik bernada halus dan seakan membantuku bertelusur dimensi waktu yang kuciptakan sendiri.


“Hobi” aneh ini sudah berlangsung lama, jauh semenjak aku masih berbalut seragam sekolah menengah. Aku sering kali iseng berjalan-jalan sendiri ke suatu tempat, tanpa tujuan, sambil mengingat-ingat tempat yang sudah pernah kudatangi. Esensi apa yang kudapat, sensasi apa yang kudapat, tak jadi soal. Aku nyaman dengan itu semua.
Aku bisa merasakan bau darah dari bekas tempat aku memenggal ikan yang kujaring di sungai saat aku kelas 5 SD di belakang Atma Jaya. Disitulah pertama kali aku melakukan pembunuhan terhadap makhluk Tuhan yang tak berdosa.
Aku ingat makian tetanggaku saat anaknya kuhajar gara2 mengempeskan sepedaku di rintik hujan Caturwulan ketiga ke as 1 SMP. Dahinya membekas memar setelah itu dan ibunya dendam padaku bertahun-tahun sebelum menyadari bahwa itu hanya kenakalan anak kecil biasa.
Dari kebiasaan ini pula aku sering dianggap teman-temanku punya ingatan yang kuat tentang kejadian-kejadian saat dulu pernah satu lingkaran dengan mereka. Contohnya saat salah seorang temanku bertanya siapa yang kentut saat pelajaran biologi. Ya, aku ingat. Bahkan aku ingat hari apa dan siapa gurunya saat itu.
Mungkin juga dari kebiasaan itu pula aku jadi susah berdamai dengan masa laluku. Setiap momen yang tidak terlupakan, entah baik atau buruk, aku akan selalu ingat itu.
Beberapa tahun terakhir bahkan aku lebih memanjakan kebiasaanku ini. Aku memang jarang bepergiian, tapi semua tempat yang pernah kudatangi, dan apa yang sudah kulakukan, dengan siapa. Aku masih mengingatnya.
Warnet, hotel, taman bunga, gorong –gorong, wc sekolah, gudang sepeda, Stasiun, terowongan sungai, warung ikan, rok teman, ruang guru, kantin sekolah, mimbar masjid,gazebo pantai, hutan gunung, semua tempat itu ada memori kuat, tentang apa yang sudah terjadi, dengan siapa, dalam rangka apa, dan kapan saja. Suatu kali aku mengunjunginya lagi hanya untuk diam menikmati aku yang masih hidup dan mengingatnya sebagai alibi rindu akan kehidupan yang sudah pernah terlewati. Ada banyak kenikmatan yang aku rasakan disana. Dan aku biasanya akan diam selama beberapa menit. Mencoba bersyukur atas momen baik, dan mencoba memohon ampun, memaaafkan hidup dalam momen yang buruk. Sesederhana itu aku menyimpulkan kebiasaanku ini.
Dari dalam kafe remang, seiring pekerjaan yang kuakhiri karena mata berair akibat mengantuk, sesekali aku melirik sepasang kursi dan meja disana, pada sebuah kisah yang dipaksakan selesai, dan pada dua buah gelas penuh minuman dingin yang utuh. Aku mencoba tersenyum. Aku akan kembali lagi ke sini suatu hari nanti. Demi Dejavu.


Senin, 03 November 2014

Hanya Tanya

Terlalu cepat, terlalu serba mendadak.
Dua malam yang lalu aku merenungi tentang sebuah kejaiban hidup, pemahaman akan siklus yang mungkin belum pernah aku jumpai dalam hidup. Tidak ada yang spesial, aku hanya ingin sesekali bercanda dengan kenyataan, bahwasanya ia tak harus sekejam ini.
Aku buka ponsel ku dan memandangi sejenak foto bertahun –tahun silam.
Masih bersepuluh, berkurang jadi tujuh, berlima, bertiga, hingga akhirnya tinggal aku disini duduk menghadap barat dengan segelas es susu coklat yang sudah tidak manis. Tidak ada lagi potret yang kuabadikan, karena tak ada momen lagi yang harus diabadikan. Semuanya sudah terlalu membingungkan untuk dijelaskan kenapa.
Oh iya, aku sedang menceritakan teman – temanku semasa sekolah. Tempo hari aku pernah cerita kan , kalau dulu setiap minggu aku selalu mengunjungi kafe kecil langganan kami. Sekedar memenuhi gelaran tikar setengah basah akibat diguyur hujun sepagi itu, menceritakan kisah hidup kami yang luarbiasa menyenangkan setengah mati. Kami dibentuk dari sebuah kesamaan nasib yang hakiki, yaitu penat dengan rutinitas harian yang membosankan. Sekolah.
Dulu, tiap kali aku mengirim sms untuk menuju kafe kopi itu, semua teman-temanku itu langsung menuju kesana tanpa basa-basi. Kami tau tempat dimana kami hanya perlu bertemu dan menenggak kopi bersama-sama untuk saling mengerti cerita masing-masing. Banyak topik yang selalu jadi istimewa untuk dibahas, entah itu urusan cinta, pekerjaan, impian, bahkan imajinasi yang tak pernah habis. Kami menikmati saat saat berharga itu, tanpa ada beban untuk harus jadi apa kami nanti sepuluh tahun kemudian.
Aku masih ingat salah satu temanku pernah berkata seperti ini, “besok kalo kita udah kerja atau udah menikah kita harus tetep kumpul seperti ini ya...”
Waktu itu aku tidak menanggapinya dengan serius, dalam hati tentu saja aku menjawab “iya”.
Akan tetapi itu dulu, jauh sebelum aku menyadari bahwa hidup tak melulu tentang sebuah kisah rutinitas di kafe kopi. Semuanya tidak sesederhana itu.
Aku sekarang sudah menikah, teman – temanku juga sudah punya rutinitas masing – masing. Semua nya sudah berlalu seperti angin, semua sudah terlalu cepat berubah.
Tidak ada lagi canda , tak ada lagi agenda mengometari foto memalukan di laman facebook, tak ada lagi konvoi malam menggodai banci di stasiun lempuyangan, tak ada lagi sisa gelas kopi penuh abu rokok berserakan saat menyambut dini hari.
Ini hidup, ada siklus yang harus dihargai, ada sisi yang harus ditinggal pergi. Semuanya dibunuh elemen paling kejam sedunia, yaitu waktu.


Selasa, 17 Desember 2013

Dari Balik Jendela Kereta yang Berembun

Dari balik jendela kereta bisnis yang lengang, selepas berkunjung dari bekasi, tempat sahabat mungilku bermukim.
Aku melamun sejenak, memandangi hijaunya sawah yang terhampar. Membayangkan aku ada diluar sana, menghirup udara dengan bebasnya, melegakan sekali, pikirku.
Karibku bermarga Sinaga tertidur di sebelahku, menghabiskan sebungkus mie instan mentah yang kubeli dari warung kelontong kemarin lusa, di daerah Depok, saat dia menemaniku menyelesaikan pekerjaanku yang tertunda di kantor cabang.
Anak ini pasti lelah sekali, kuperhatikan posisi tidurnya yang tak wajar, aku tersenyum kecut. Sepersekian detik kemudian aku sudah tak peduli dengannya, pemandangan diluar sana lebih menarik. Maaf ya anak rantau, :p

Oh ya, aku melupakan si mungil karibku satunya. Namanya Nesia. Kita bertiga (bersama Sinaga) dipertemukan di sebuah kelas sederhana beberapa tahun silam, di tempat duduk plastik warna-warni, belajar bahasa inggris, sebagai alibi bakal jadi manusia bertalenta di masa mendatang, karena menguasai satu bahasa paling populer sedunia.
Aku mengenal Nesia hanya singkat saja, hanya dua kali seminggu , ia cenderung lebih pendiam daripada Sinaga, yang notabene adalah jagoan paling eksis di tempat kami kursus saat itu. Pembawaan nya yang kalem dan tak banyak bicara membuatku berasumsi kalau anak ini adalah anak yang mandiri, dan lurus-lurus saja. Kala itu aku asal menarik fakta, karena aku sama sekali tak berbakat menganalisa perilaku manusia hanya berdasarkan tatapan sekelebat saja. Egoisnya aku.

Kursus kita singkat, setelah beberapa bulan lelah memenuhi kelas gila itu, kami pun selesai menyelesaikan level. Aku dapat angka merah karena tak lulus, sementara dua orang temanku itu lulus. Sebuah hasil mengecewakan yang akhirnya memaksaku untuk tidak melanjutkannya, karena ada tanggung jawab lain kala itu yang harus aku selesaikan, yaitu tugas akhir. Aku tak berani menduakan itu, senyum orang tuaku menunggu di altar auditorium kampus beberapa bulan lagi, itulah tekad ku. Yang sederhana tapi utama.

Setelah kami lulus, kami jarang ber korespondensi, kita seumuran, maka asumsiku, dua orang eksentrik itu juga pasti sedang sibuk-sibuknya menyelesaikan skripsi. Sinaga melanjutkan levelnya hingga selesai, sementara Nesia tidak, entah apa pertimbangannya.
Lama, hingga akhirnya ketika suatu kali aku membuka News Feed facebook ku, kutemui sesosok mungil berjurusan Hukum UGM itu sedang tersenyum simpul, berhiaskan selendang kuning cumlaude yang luar biasa. Hey fella, congratulation.. Batinku saat itu.

Di satu sisi Sinaga belum tau kabarnya , dia memang manusia super sibuk sejagat.

Beberapa bulan setelah itu, akhirnya giliranku memakai jubah seksi sarjana , menamatkan studi hambar selama 4 tahun, impian terbesar sepanjang hidup yang akhirnya kuwujudkan. Bapak dan Ibu memelukku haru, aku sudah diantarkannya menjadi sarjana , pertama dari keluarga mereka sepanjang hidup. Menyematkan kebanggan, sekaligus beban secara bersamaan. Aku mencintai mereka lebih dari siapapun. Tuhan akan mengerti aku.
Esoknya,
Aku mendapat komentar yg sama di Facebook dari Nesia. Dan kita akan menunggu kabar kelulusan Sinaga sebulan kemudian, dan dia menepatinya.

Kami pun terpisah, Nesia pulang kampung, dan Sinaga merantau ke kota lain. Nesia tidak berpamintan padaku, sementara Sinaga bertukar cerita denganku, saat ia tak sengaja kutemui di bengkel seputaran gejayan. Lepas sudah kami dicerai beraikan waktu. Sesederhana itu semuanya terjadi.

Kami tak pernah sering bertemu sama lain, tapi entah mengapa seperti ada ikatan kuat yang tak terlihat diantara kami. Lain kali kalau aku senggang, aku akan menanyakan itu pada Tuhanku. Tentang sebuah hubungan tanpa ada pemisah jarak dan waktu.

Aku pernah bermimpi, bahwa suatu kali sebelum mati, kami harus bertemu dan berkumpul lagi.
Tuhan menjawabnya, dan memberikan kami waktu sehari, untuk saling berbagi imaji dan nurani.
Semuanya berlalu seru sekali, di pusat kota Bekasi dan aku tak bisa menuliskan semua disini.


Sinaga yang bangun dan menanyakan sebotol air mengagetkan lamunanku. Raut wajah kantuk dan mesumnya membuatku bergumam dalam hati, juga untuk Nesia disana. Aku disadarkan lagi, bahwa sejauh apapun temanmu nanti, dia akan selalu jadi teman mu, mengisi harimu dengan cerita konyolnya, hidup dalam hatimu sebagai penyemangat yang abadi.
Hari ini, dari balik jendela kaca kereta yang mulai berembun karena hujan, aku mengucap syukur pada Tuhanku. Terimakasih atas segala warna-warni kehidupan. Terimakasih telah mempertemukanku dengan dua orang super itu.






See You . Kutunggu kalian di akhir Februari.

Jumat, 13 Desember 2013

Pada Sebuah Asasi Yang Harus Mati

Sesak. Dua mata orang itu sayu, seperti habis dikejar anjing gila seharian penuh. Jemari nya bergetar tak beraturan, diambilnya sebotol kecil air mineral dari tas kerjanya yang penuh nota invoice berjangka, diteguknya berkali-kali sampai setetes akhir yang tak juga melegakan nafasnya. Malam itu akan panjang, untuk seorang anak manusia yang penuh harapan, tapi minim peran. Jahat sekali.
Kertas bertulis nama berbentuk persegi itu masih diliriknya perlahan, ada nama gadis pujaaannya disana, gadis istimewa yang diiidamkannya bertahun-tahun. Tertera jelas tanpa basa-basi, mentereng selayaknya lukisan Van Gogh yang tegas, dihias sendu dengan huruf arab tanda terikatnya sebuah janji sehidup semati. Lemas dia, ditegur kenyataan. Kenyataan yang mengharuskannya melupakan.
Ia bingung, pada sebuah kabar yang memesona, menyudutkannya untuk pulang, kembali pada sebuah alam khayal yang tak kunjung terjadi, dibunuh rindu dari balik  harap yang urung terjawab, terkapar bersama sejengkal malam yang menghasut, menyuruhnya diam untuk selamanya, menyadari apa yang harus terjadi. Memalukan.

Ia melarikan diri, lagi-lagi. Ia bertekad berpaling, ia akan berpaling. Dari sebuah masa yang sudah tertata rapi, dan terpaksa dihancurkannya seorang diri.
Sebait doa terselip dengan tangis, dikirimkannya dari sebuah benci yang terlanjur ada, memberikan sebuah formalitas sederhana, untuk sebuah keindahan yang tak pernah bisa dimiliki.

Sabtu, 12 Oktober 2013

Hempasan



Pagi yang terlalu singkat , saat sebuah alarm tak gaduh membangunkan tidurnya yang juga singkat. Kamarnya masih menampung sisa rokok semalam, berserakan selayaknya sampah. Disampingnya tergeletak sebotol bir yang tak habis, ia memang bukan penikmat minuman seperti itu, tapi ia bersikeras menenggaknya, sebuah alasan yang tak keren sebenarnya, saat kau menyadari bahwa impiannya bertahun – tahun, hancur dalam sebuah kedipan gadis pujaannya.

Sebuah malam panjang, tempat tenang penuh kenangan, dan ribuan harapan yang bakal tertanam, membuatnya melangkah mantap menuju masa depan. Dua tangan tergenggam yang dia harapkan, sudah terbayang begitu malam ini usai, sebuah keyakinan yang akhirnya membuatya mati, mati terduduk dimakan harapan, harapan bodoh yang dibuatnya sendiri, menuju dia, menuju akhir yang tak berbalas, menyedihkan.

Hidup memang tak adil, untuk dia yang tak mau berterus terang. Tuhan yang mengajarkannya.

Selasa, 20 Agustus 2013

Romansa Duka



Minggu yang janggal, ketika akhirnya sebuah pertemuan itu diakhiri.
Lesung pipitnya masih menekuk sempurna, arlojinya berdetak sesuai jatahnya, tangan  merambah mata, menutupi kesedihan.
Hari yang dia pikir istimewa sudah dilewati, dengan bermacam fakta yang akhirnya membuatnya urung tertawa, dua jam dari sekarang adalah hal terberat, melepasnya dalam dua kedipan saja.
Masih teringat jelas senyum lepas di wajahnya, bertemu tidak sengaja, berkenalan tanpa rasa. Dia dewasa, dengan berbagai penampakan yang nyata, saat itu ia tersadar, akan sebuah cinta yang harus binasa.
Ponsel ini menderu perlahan, ada namamu disana, pertanda sebuah rindu yang memanggil. Tak dinyana, itu hanya bualan halus yang berkedok selamat tinggal.
Becak Yogya kadaluwarsa ini, mengantarkanmu pergi. Menjemput masa depan pilihan orangtuamu. Tinggal dia disini, bersama kesepian lagi yang seperti abadi.
Menatap punggungmu dari belakang adalah naluri,
“Mengapa kau harus datang ?”


Buta

Ceritanya bermula dari sebuah film, yang filenya sudah di laptopku dari tahun 2010, saat aku kuliah. Film yang mungkin semua orang sudah p...