Dari balik jendela kereta bisnis yang lengang, selepas
berkunjung dari bekasi, tempat sahabat mungilku bermukim.
Aku melamun sejenak, memandangi hijaunya sawah yang
terhampar. Membayangkan aku ada diluar sana, menghirup udara dengan bebasnya,
melegakan sekali, pikirku.
Karibku bermarga Sinaga tertidur di sebelahku, menghabiskan sebungkus mie instan mentah yang kubeli dari warung kelontong kemarin lusa, di daerah Depok, saat dia menemaniku menyelesaikan pekerjaanku yang tertunda di kantor cabang.
Anak ini pasti lelah sekali, kuperhatikan posisi tidurnya yang tak wajar, aku tersenyum kecut. Sepersekian detik kemudian aku sudah tak peduli dengannya, pemandangan diluar sana lebih menarik. Maaf ya anak rantau, :p
Karibku bermarga Sinaga tertidur di sebelahku, menghabiskan sebungkus mie instan mentah yang kubeli dari warung kelontong kemarin lusa, di daerah Depok, saat dia menemaniku menyelesaikan pekerjaanku yang tertunda di kantor cabang.
Anak ini pasti lelah sekali, kuperhatikan posisi tidurnya yang tak wajar, aku tersenyum kecut. Sepersekian detik kemudian aku sudah tak peduli dengannya, pemandangan diluar sana lebih menarik. Maaf ya anak rantau, :p
Oh ya, aku melupakan si mungil karibku satunya. Namanya
Nesia. Kita bertiga (bersama Sinaga) dipertemukan di sebuah kelas sederhana
beberapa tahun silam, di tempat duduk plastik warna-warni, belajar bahasa
inggris, sebagai alibi bakal jadi manusia bertalenta di masa mendatang, karena
menguasai satu bahasa paling populer sedunia.
Aku mengenal Nesia hanya singkat saja, hanya dua kali
seminggu , ia cenderung lebih pendiam daripada Sinaga, yang notabene adalah
jagoan paling eksis di tempat kami kursus saat itu. Pembawaan nya yang kalem
dan tak banyak bicara membuatku berasumsi kalau anak ini adalah anak yang
mandiri, dan lurus-lurus saja. Kala itu aku asal menarik fakta, karena aku sama
sekali tak berbakat menganalisa perilaku manusia hanya berdasarkan tatapan
sekelebat saja. Egoisnya aku.
Kursus kita singkat, setelah beberapa bulan lelah memenuhi
kelas gila itu, kami pun selesai menyelesaikan level. Aku dapat angka merah
karena tak lulus, sementara dua orang temanku itu lulus. Sebuah hasil
mengecewakan yang akhirnya memaksaku untuk tidak melanjutkannya, karena ada
tanggung jawab lain kala itu yang harus aku selesaikan, yaitu tugas akhir. Aku
tak berani menduakan itu, senyum orang tuaku menunggu di altar auditorium
kampus beberapa bulan lagi, itulah tekad ku. Yang sederhana tapi utama.
Setelah kami lulus, kami jarang ber korespondensi, kita
seumuran, maka asumsiku, dua orang eksentrik itu juga pasti sedang
sibuk-sibuknya menyelesaikan skripsi. Sinaga melanjutkan levelnya hingga
selesai, sementara Nesia tidak, entah apa pertimbangannya.
Lama, hingga akhirnya ketika suatu kali aku membuka News Feed
facebook ku, kutemui sesosok mungil berjurusan Hukum UGM itu sedang tersenyum
simpul, berhiaskan selendang kuning cumlaude yang luar biasa. Hey fella, congratulation.. Batinku saat
itu.
Di satu sisi Sinaga belum tau kabarnya , dia memang manusia super sibuk sejagat.
Beberapa bulan setelah itu, akhirnya giliranku memakai jubah seksi sarjana , menamatkan studi hambar selama 4 tahun, impian terbesar sepanjang hidup yang akhirnya kuwujudkan. Bapak dan Ibu memelukku haru, aku sudah diantarkannya menjadi sarjana , pertama dari keluarga mereka sepanjang hidup. Menyematkan kebanggan, sekaligus beban secara bersamaan. Aku mencintai mereka lebih dari siapapun. Tuhan akan mengerti aku.
Di satu sisi Sinaga belum tau kabarnya , dia memang manusia super sibuk sejagat.
Beberapa bulan setelah itu, akhirnya giliranku memakai jubah seksi sarjana , menamatkan studi hambar selama 4 tahun, impian terbesar sepanjang hidup yang akhirnya kuwujudkan. Bapak dan Ibu memelukku haru, aku sudah diantarkannya menjadi sarjana , pertama dari keluarga mereka sepanjang hidup. Menyematkan kebanggan, sekaligus beban secara bersamaan. Aku mencintai mereka lebih dari siapapun. Tuhan akan mengerti aku.
Esoknya,
Aku mendapat komentar yg sama di Facebook dari Nesia. Dan kita
akan menunggu kabar kelulusan Sinaga sebulan kemudian, dan dia menepatinya.
Kami pun terpisah, Nesia pulang kampung, dan Sinaga merantau ke kota lain. Nesia tidak berpamintan padaku, sementara Sinaga bertukar cerita denganku, saat ia tak sengaja kutemui di bengkel seputaran gejayan. Lepas sudah kami dicerai beraikan waktu. Sesederhana itu semuanya terjadi.
Kami pun terpisah, Nesia pulang kampung, dan Sinaga merantau ke kota lain. Nesia tidak berpamintan padaku, sementara Sinaga bertukar cerita denganku, saat ia tak sengaja kutemui di bengkel seputaran gejayan. Lepas sudah kami dicerai beraikan waktu. Sesederhana itu semuanya terjadi.
Kami tak pernah sering bertemu sama lain, tapi entah mengapa
seperti ada ikatan kuat yang tak terlihat diantara kami. Lain kali kalau aku
senggang, aku akan menanyakan itu pada Tuhanku. Tentang sebuah hubungan tanpa ada
pemisah jarak dan waktu.
Aku pernah bermimpi, bahwa suatu kali sebelum mati, kami
harus bertemu dan berkumpul lagi.
Tuhan menjawabnya, dan memberikan kami waktu sehari, untuk saling berbagi imaji dan nurani.
Tuhan menjawabnya, dan memberikan kami waktu sehari, untuk saling berbagi imaji dan nurani.
Semuanya berlalu seru sekali, di pusat kota Bekasi dan aku
tak bisa menuliskan semua disini.
Sinaga yang bangun dan menanyakan sebotol air mengagetkan lamunanku. Raut wajah kantuk dan mesumnya membuatku bergumam dalam hati, juga untuk Nesia disana. Aku disadarkan lagi, bahwa sejauh apapun temanmu nanti, dia akan selalu jadi teman mu, mengisi harimu dengan cerita konyolnya, hidup dalam hatimu sebagai penyemangat yang abadi.
Hari ini, dari balik jendela kaca kereta yang mulai berembun
karena hujan, aku mengucap syukur pada Tuhanku. Terimakasih atas segala
warna-warni kehidupan. Terimakasih telah mempertemukanku dengan dua orang super
itu.
See You . Kutunggu kalian di akhir Februari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar