Gadis berlesung pipit itu duduk
di ujung taman. Di sebuah kursi marmer yang agak kotor. Tangannya menggenggam
foto tua. Ia terpejam beribu bahasa, sesekali ia mendekatkan sapu tangan
kumalnya ke kedua mata. Sebuah tanda kalau ia sedang gulana. Di sebuah sore
yang berhias senja. Gadis itu sendirian, dan pada sebuah foto tua di genggaman,
tak ada yang tahu kalau ia sedang menggenggam harapan.
Isak
tangis di malam hari tak terhindarkan darinya. Padahal, ia sudah tak lagi
berada di taman dan menggenggam sebuah foto. Ia sudah beralih di kamarnya yang
sepi. Ia mengucap rundu berkali-kali, pada sepasang sosok yang sudah lama
pergi. Lama… sampai ia pun tertidur dalam dekapan malam yang pandai menusuk
tubuh dengan dinginnya.
Ketika
pagi pun akhirnya datang, ia belum beranjak dari kediaman. Dipeganginya
perutnya yang lapar, sembari mendongak ke langit menatap angan yang perlahan
pudar. Akan tetapi, ia belum lupa Tuhan, ia masih memujanya sampai mati.
Masih di pagi yang harusnya indah
itu, ia kembali menggenggam sebuah foto. Dan masih di pagi yang harusnya indah
itu, ia berujar rindu yang pada orang yang sama ke sekian kali. Melupakan rasa
lapar yang ternyata sudah mulai mendera.
Gadis
itu…. Gadis itu kali ini berada di pinggir rel kereta. Ia memandang rangkaian gerbong
yang berlalu lalang semenjak siang tadi. Ia, masih menggenggam foto tua.
Berharap periode itu, akan segera berakhir.
Gadis
itu, masih terdiam. Ia menenteng tas yang hanya berisi sebuah album. Ia diguyur
hujan kali itu. Tapi, tangannya masih menggenggan sebuah foto tua. Sama,
setelah berhari-hari……
Pada
hari pertemuan, saat ia melepaskan tangannya dari sebuah foto, menuju potret
yang sebenarnya. Ia pun menangis lega, sambil mengusap air mata, ia bergumam
lirih “kalian kemana saja?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar