Kamis, 31 Januari 2013

Secangkir Kopi dari Kejauhan Hari



Jumpa lagi, senja, jumpa lagi masa lalu. Memperkenalkan kopi pahit ini , yang rasanya tak kunjung berubah, bukan sebuah dosa yang bisa membunuh akal kalian. Pegang tanganku, pejamkan mata, dan akan kuajak kamu menelusuri kisah yang sudah dimulai sejak dulu. Saat rokok dan bir, disukai kawan-kawanku yang lugu.
Dua mata sayu menatap hamparan sawah, dari mulut mereka terhampar suratan canda yang tak lekang waktu. Aku ada disana, masih dengan kaos hitamku dan celana jins sobek selutut.
Pondok kopi itu sempit sekali, hanya beberapa meter dari seberang selokan, menggelayut diam di pojokan jalan, menyembunyikan takdir besarnya di masa depan. Plang sederhana itu berlambangkan cangkir kopi, bertuliskan “mato” sebagai nama yang sederhana.
Disanalah aku biasanya duduk berteman hijaunya sawah, dinginnya malam, beceknya hujan, dan sepinya kelam. Disanalah aku dibentuk oleh persahabatan kawan. Disanalah aku berjudi dengan nasib gantungan perempuan.
Mato adalah esensi yang belum pergi. Sebuah tempat yang tak sengaja ditemukan kawanku hanya untuk sekedar singgah, merayakan ulang tahunnya yang ke 17 dengan santapan mie goreng berpiring-piring, dan menceritakan kisah cintanya yang (mungkin) bertepuk sebelah tangan.
Aku menaiki Kawasaki 1998 ku untuk menuju kesana, saat aku kelas 2 SMA hampir 7 tahun yang lalu. Mato hanya dihuni 3 orang laki-laki tanggung berperawakan keras, keras yang tidak menakutkan. Keras yang menipu.
Mato hanya sebuah pondokan beralas tikar yang kadang basah. Basah oleh hujan semalam yang seakan lupa kering. Namun di tempat kecil itu, aku menemukan duniaku. Dunia yang membuka mataku bahwa hidup tak melulu bertema akademis dan perilaku.
Datun meminum segelas kotangsu nya, Sukma meraih es jeruk nya, Tepe menyeruput Josua dinginnya, Danang masih sibuk dengan Heni nya, Krista melamunkan aksi skateboard nya, Andre baru datang memarkirkan Thunder barunya, Kampret diam memainkan 6600 nya, Fafa masih mengamati foto pujaan hatinya, Febrian bersandar dan berinteraksi dengan pacar barunya, Nizar dan Yudi masih sok-sokan di hadapan papan catur, dan aku masih mengamati mereka dengan herannya, malam itu akan panjang, malam yang tak sepanjang estehku yang sudah habis kutelan hanya beberapa menit yang lalu.
Rutinitas semacam ini terus terjadi selama beberapa tahun, SMA yang akan identik beriringan datang dan duduk beramai-ramai, menggunjing guru yang dibenci, mengupdate 3gp baru yang aduhai, dan menghakimi Fafa atas kisah cintanya yang selalu penuh misteri. Aku menikmatinya, kita semua menikmatinya, Mato adalah tempat kami tumbuh, sebagai anak manusia yang polos, yang taat dan tunduk pada sebuah aturan “bahwa jika kau ingin naik kelas, belajarlah”.
Kelak akan tiba saatnya, bahwa obrolan dari masa SMA akan terus terkenang lagi, obrolan cinta yang seperti tak usai akan selalu urung pamit meninggalkan kami semua. Kelak akan tiba saatnya bahwa kawan yang selalu kunanti datang di pondok kecil itu akan berkurang, lambat laun mereka akan pergi, mengisi takdirnya sesuai perannya, sebagai sarjana, sebagai bapak dan ibu rumah tangga, atau bahkan hanya datang sebagai kenangan yang kehadirannya sudah langka.
Mato adalah saksi yang sederhana, bahwa sebuah tempat sekecil apapun akan punya arti jika diisi. Mato akan terus hidup sebagai pribadi pengisi hari, tempat dimana semua keluh dan kesah, memamerkan keabadiannya yang sah.
Aku masih akan terus mengunjungi nya, bersama kawanku yang tak lagi lengkap, bukan sebagai agenda yang harus kupenuhi, akan tetapi, sebagai sebuah kerjaan nyaman yang harus selalu lestari.


Nb : Mato Kopi berlamat di jl selokan seturan, seberang masjid. Sekarang pindah ke cepit baru deket outlet biru, dan telah menjadi besar J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Buta

Ceritanya bermula dari sebuah film, yang filenya sudah di laptopku dari tahun 2010, saat aku kuliah. Film yang mungkin semua orang sudah p...