Jumpa lagi, senja, jumpa lagi masa
lalu. Memperkenalkan kopi pahit ini , yang rasanya tak kunjung berubah, bukan
sebuah dosa yang bisa membunuh akal kalian. Pegang tanganku, pejamkan mata, dan
akan kuajak kamu menelusuri kisah yang sudah dimulai sejak dulu. Saat rokok dan
bir, disukai kawan-kawanku yang lugu.
Dua mata sayu menatap hamparan
sawah, dari mulut mereka terhampar suratan canda yang tak lekang waktu. Aku ada
disana, masih dengan kaos hitamku dan celana jins sobek selutut.
Pondok kopi itu sempit sekali,
hanya beberapa meter dari seberang selokan, menggelayut diam di pojokan jalan,
menyembunyikan takdir besarnya di masa depan. Plang sederhana itu berlambangkan
cangkir kopi, bertuliskan “mato” sebagai nama yang sederhana.
Disanalah aku biasanya duduk
berteman hijaunya sawah, dinginnya malam, beceknya hujan, dan sepinya kelam.
Disanalah aku dibentuk oleh persahabatan kawan. Disanalah aku berjudi dengan
nasib gantungan perempuan.
Mato adalah esensi yang belum
pergi. Sebuah tempat yang tak sengaja ditemukan kawanku hanya untuk sekedar
singgah, merayakan ulang tahunnya yang ke 17 dengan santapan mie goreng berpiring-piring,
dan menceritakan kisah cintanya yang (mungkin) bertepuk sebelah tangan.
Aku menaiki Kawasaki 1998 ku
untuk menuju kesana, saat aku kelas 2 SMA hampir 7 tahun yang lalu. Mato hanya
dihuni 3 orang laki-laki tanggung berperawakan keras, keras yang tidak
menakutkan. Keras yang menipu.
Mato hanya sebuah pondokan
beralas tikar yang kadang basah. Basah oleh hujan semalam yang seakan lupa
kering. Namun di tempat kecil itu, aku menemukan duniaku. Dunia yang membuka
mataku bahwa hidup tak melulu bertema akademis dan perilaku.
Datun meminum segelas kotangsu
nya, Sukma meraih es jeruk nya, Tepe menyeruput Josua dinginnya, Danang masih
sibuk dengan Heni nya, Krista melamunkan aksi skateboard nya, Andre baru datang
memarkirkan Thunder barunya, Kampret diam memainkan 6600 nya, Fafa masih
mengamati foto pujaan hatinya, Febrian bersandar dan berinteraksi dengan pacar
barunya, Nizar dan Yudi masih sok-sokan di hadapan papan catur, dan aku masih
mengamati mereka dengan herannya, malam itu akan panjang, malam yang tak
sepanjang estehku yang sudah habis kutelan hanya beberapa menit yang lalu.
Rutinitas semacam ini terus
terjadi selama beberapa tahun, SMA yang akan identik beriringan datang dan
duduk beramai-ramai, menggunjing guru yang dibenci, mengupdate 3gp baru yang
aduhai, dan menghakimi Fafa atas kisah cintanya yang selalu penuh misteri. Aku
menikmatinya, kita semua menikmatinya, Mato adalah tempat kami tumbuh, sebagai
anak manusia yang polos, yang taat dan tunduk pada sebuah aturan “bahwa jika
kau ingin naik kelas, belajarlah”.
Kelak akan tiba saatnya, bahwa
obrolan dari masa SMA akan terus terkenang lagi, obrolan cinta yang seperti tak
usai akan selalu urung pamit meninggalkan kami semua. Kelak akan tiba saatnya
bahwa kawan yang selalu kunanti datang di pondok kecil itu akan berkurang,
lambat laun mereka akan pergi, mengisi takdirnya sesuai perannya, sebagai
sarjana, sebagai bapak dan ibu rumah tangga, atau bahkan hanya datang sebagai kenangan
yang kehadirannya sudah langka.
Mato adalah saksi yang sederhana,
bahwa sebuah tempat sekecil apapun akan punya arti jika diisi. Mato akan terus
hidup sebagai pribadi pengisi hari, tempat dimana semua keluh dan kesah,
memamerkan keabadiannya yang sah.
Aku masih akan terus mengunjungi
nya, bersama kawanku yang tak lagi lengkap, bukan sebagai agenda yang harus
kupenuhi, akan tetapi, sebagai sebuah kerjaan nyaman yang harus selalu lestari.
Nb : Mato Kopi berlamat di jl
selokan seturan, seberang masjid. Sekarang pindah ke cepit baru deket outlet
biru, dan telah menjadi besar J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar