Rabu, 02 Januari 2013

Ada senyum di Museum Biologi


Terik siang membuncah di pertengahan Maret 2004. Aku melangkahkan kakiku memasuki bus kota tua. Hari yang agak membosankan akan kujalani. Tapi ternyata, hari itu tak sebosan yang kukira, semuanya sederhana, karena senyum seorang gadis berkulit coklat tua.

Deru bus kota mengantarkanku keliling jogja. Kegiatan yang lebih gandrung dikenal sebagai “studi banding” ini baru sekali ini kujalani, sebagai syarat kelulusan sekolah ku di kala SMP.
Aku terdiam di kursi sebelah belakang. Tersungkur di pojokan bersama anak-anak semrawut macam Datun dan Andi, temanku yang super konslet itu. Aku belum punya HP, dan aku tak mau punya sebelum senyum gadis kelas sebelah itu kutaklukan. Sok dewasa ya.
Aku turun di sebuah pelataran gedung DPRD di Sleman. Pak Agus, si kepala ekspedisi membosankan itu, mengatur barisan dan mengabsen kami semua. Sekedar informasi, aku kelas 3 SMP kala itu, dan kawan-kawanku berjumlah 119 orang, karena angkatan kami terdiri dari 3 kelas saja.
Kubuka memo lucu ku bergambar klipingan klub sepak bola Leeds United, kutulis beberapa hal “penting” sebagai alibi kehormatan pada Guruku. Aku menulis anggota-anggota DPRD yang tak kutau wajahnya itu dan membayangkan mereka sebagai pribadi necis panutan bangsa.
Aku bosan sekali, aku ingin pulang, dan bermain layang-layang. Suara tawa teman-temanku yang berlarian bak orang pedalaman tak mampu menghiburku sedetik saja. Kupandangi  jam tangan ku yang super murah itu, jarumnya masih menunjukkan pukul 9 pagi. Memang benar kata orang, bila kita sedang bosan, waktu akan lama sekali berjalan.
Dalam kebosanan multifungsional itulah mataku memicing cerah tak beraturan, seorang gadis, yang sudah setahun kukenal, lewat didepanku sembari menyapa. Aku tersenyum simpul, tanpa perintah, senyum reflex yang tak bisa kuartikan sembarangan. Saat itu, waktu semakin terasa lama berjalan.
Oh ya kawan, gadis itu bernama “Denisa” (lagi2 kusamarkan untuk melindunginya dari persepsi kalian-part2). Ia sekelas denganku waktu kelas 2, dia adalah teman perempuanku yang pertama, semenjak aku dilahirkan di dunia ini sebagai titipan Tuhan untuk Ayah Bundaku.
Denisa itu pandai, ia hafal rumus gradient yang bagiku super sulit itu, dan dia hafal grammar Bahasa Inggris berkali-kali lipat dariku. Rambutnya dikuncir pendek. Jam tangannya berwarna merah menyala, dan sepatunya semi-feminim. Ia tak dandan seperti gadis seusianya, ia lebih apa adanya dari beberapa teman perempuanku yang lain. Mungkin itu yang kemudian menjadikannya agak special dimataku.
Waktu itu.
Denisa menyapaku seperlunya saja, memang kuakui semenjak kami pisah kelas, aku jadi semakin jarang berkomunikasi dengannya. Biasanya dia sering berdiskusi tentang sepak bola denganku. Ya, dia menggemari sepakbola. Tak seperti gadis lain seusianya yang lebih suka bermain boneka.
Denisa mengenakan jaket, dan menenteng binder kesayangannya. Aku mengikuti langkahnya pergi, menuju kumpulan teman-teman sekelasnya. Aku memandanginya dari jauh. Ia memang berbeda.
Aku kembali memasuki bus kota itu, melanjutkan perjalanan, menuju jalan kusumanegara. Aku tak tau destinasi kami selanjutnya, keenggananku terhadap acara studi banding ini memaksaku mengenyahkan segala jadwal dan rundown acara, aku tak peduli.
Tepat setengah jam, bus berhenti didepan sebuah bangunan tua. Aku yang sejak lahir berada di kota Yogyakarta ini pun tak mengerti, bangunan apa yang ada di depanku ini. Akhirnya, aku dapat mengenalinya setelah membaca papan pengenal yang sudah lusuh dimusuhi debu itu. Sebuah museum. Museum Biologi lebih tepatnya. Haaahhhh, semakin membosankan. Apa gerangan hubungan mata pelajaran PPkn dengan museum biologi. Dagelan.
Aku memasuki museum itu dengan malas, aku tak ikut rombongan teman-teman kampretku itu, padahal biasanya aku adalah biang keributan disana.
 Aku melihat-lihat koleksi museum yang dilindungi UGM ini. Cuma ada sedikit koleksi yang bagus. Aku tak tertarik masuk lebih dalam. Aku pun berhenti pada sebuah kliping Koran yang memberitakan seorang manusia dimakan anaconda. Selebihnya, aku tak tau. Dunia serasa mengabur dari pandanganku. Aku membayangkan kasur dirumah, dan ingin segera menidurunya beberapa jam, pelampiasanku ternyata ada-ada saja.

Sebuah tangan menepuk bahuku tiba-tiba, menyadarkan lamunan kasur biadabku itu. Aku tak menyadari, tangan gadis istimewa itu, telah menepukku berkali-kali. Ia berdiri didepanku dengan senyum yang sama, senyum yang sudah kukenal setahun ini. Senyum yang menandakan bahwa ia telah kembali, sebagai seorang teman yang kurindukan sejak saat kelas 2 dulu. Denisa ada disana.

ilustrasi


“Hai, apa kabar?” ia menanyaiku basa-basi.
Aku masih terdiam, jawaban yang harusnya sangat mudah dijawab itu terhalang oleh lidah yang kelu. Denisa menjambak rambutku. Ia benar-benar kembali.
“baik, kamu apa kabar?” jawaban yang akhirnya keluar setelah ia tersenyum lagi seperti sediakala. Senyum yang tak asing.
Aku ngobrol dengannya lama sekali, membicarakan ini itu, dari hal yang tidak penting malahan. Ia belum berubah, ia sama, dan ia nyata. Ternyata selama ini aku diperbudak kebodohan lagi, suatu sifat yang akhirnya kubenci.
Denisa membantuku menyelesaikan tugas di museum itu, ia memang tak segan berbagi ilmu, ia adalah tipe teman sejati semua orang. Aku nyaman berada di sampingnya, dan aku pikir hal ini akan lama, tapi ternyata, lagi-lagi aku salah.
Denisa masih berada di sampingku, memegangi bindernya, menjelaskan asal-usul fosil fauna didepannya kepadaku, aku mencatatnya tanpa dosa. Aku menyesal, waktu smp ku memang kuhabiskan untuk hal-hal tak berguna. Aku yang pernah menempati rangking 5 sekelas, langsung anjlok ke ranking 25. Semuanya agak tak masuk akal untuk dijelaskan. Mau tidak mau, semua itu karena Denisa. Aku bukan mau menyalahkannya, tapi memang dialah alas an semua ini. Aku tak menyesal, bagiku prestasi akademis bisa diperbaiki, tapi teman sejati, susah dicari. Denisa terlalu istimewa untuk diabaikan, dan karena betah berlama-lama dengannya lah aku mengeseampingkan segala hal tentang pelajaran. Kelas 2 adalah Denisa, semuanya bisa kujelaskan sesederhana itu.
Setelah kejadian menyenangkan di museum itulah, aku dekat lagi dengan Denisa, aku sering curi-curi pandang kelas sebelah, hanya untuk memastikan dia ada disana, diseberang tembok kelas yang jahanam ini. Jahanam karena memisahkan kami.
Jujur saja kawan, aku tak tau perasaan seperti apa ini. Susah dijelaskan, aku hanya merasa bahwa aku kian sulit melupakan wajah Denisa.
Cinta ya? Ah omong kosong, anak seusiaku tak logis membicarakan cinta, sama tidak logisnya waktu aku aku menceritakan kisah Kenanga sebelum ini.
Denisa mungkin sekarang sudah berubah, seperti terakhir kali aku bertemu dengannya dulu semasa kuliah. Ia masih memiliki senyum itu, yang membuatku kagum padanya. Hanya saja , ia sudah tak memiliki sinar mata yang kukenal. Ia asing sekarang, bahkan untuk mengobrol denganku, ia dan aku tak bisa lagi nyambung. Mungkin kita sudah berada pada jalur yang tak lagi sama, kita bukan lagi anak smp yang dibuai oleh sebuah pertemanan yang biasa. Aku pernah mempertanyakan perasaan yang terjadi saat itu. Aku tak bisa mengartikannya cinta. Aku hanya menganggapnya zona nyaman yang akhirnya kudapatkan. Aku masih menyimpan sebuah cangkir pemberiannya kala aku ulang tahun dulu. Hanya satu itu yang kusimpan, dan akan terus kusimpan karena Denisa pernah jadi orang yang istimewa dalm hidupku, setidaknya. Sahabat, memang tak seharusnya menjadi cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Buta

Ceritanya bermula dari sebuah film, yang filenya sudah di laptopku dari tahun 2010, saat aku kuliah. Film yang mungkin semua orang sudah p...