Senin, 17 September 2012

Tangis yang tak tampak


Sebuah mobil mendadak melaju cepat, berderu ia, beradu dengan waktu. Didalamnya  ada seorang lelaki paruh baya berpeci, dan seorang anak gadis yang tengah bersolek lama sekali. Kamu tak akan paham dengan caranya bersolek, kecuali setelah kau baca slogan Tut Wuri Handayani di saku bajunya.

Anak gadis itu, matanya tajam menatap cermin, berkeluh sesaat dan kemudian menyambar arloji mahalnya. Dilihatnya jarum berdetak, saat ia menyadari pukul berapa sekarang, lambat laun ia bercerocos tak pantas pada lelaki di belakang kemudi. Dimarahinya ia sampai puas. Kelak kalian juga akan tau, bahwa anak gadis itu, sedang menunjukkan kelas sosial tak bergunanya.

Sesampainya ia di depan pintu gerbang bangunan tempatnya menuntut ilmu, ia menghambur masuk dengan liarnya. Bau semerbak tubuhnya melayang kemana-mana, menjelaskan identitasnya, yang juga tak berguna. Jejak kakinya mantap, penuh kedigdayaan semu. Perangainya istimewa, istimewa yang tak pantas. Semua mata nanar menatap ke arahnya. Dan ia pun berkelakar tentang posisi, dan juga harta ayahnya. Hari itu ia mendapatkan satu hal, jika ada yang membuatmu tak nyaman, marahi saja !

Siang hari di bawah pohon rindang, kujumpai ia memainkan sesuatu. Ponselnya yang berfitur meriah, antingnya berayun angkuh, dan sepatunya menjejak pelan. Tapi, ia kesepian. Tak ada tawa di parasnya. Sosoknya tersembul ego. Besar sekali

 Rumahnya berhias taman, orangtuanya adalah pejabat yang bertuan. Mobilnya berjejal tak karuan. Gadis itu, masih menunjukkan atributnya, yang tentu saja tak berguna.

            Lain kali aku menemukannya, menangis sesenggukan, di belakang halaman. Ia tak punya teman.




Jumat, 07 September 2012

Nuansa


Senja memerah diujung barat, dan lelaki itu masih menikmati rintik hujan di atas jembatan. Orang-orang yang berjas hujan dan berpayung disampingnya terheran-heran. Dari mana ia punya daya nikmat segila itu terhadap hujan? Lelaki itu hanya tersenyum melihat pemandangan di sekitarnya. Ia belum peduli untuk menggubris berpasang-pasang mata yang menjadikannya objek sasaran. Ia lebih peduli pada sebuah rasa dan kenangan, yang hanya ia dapat ketika ia diguyur air hujan. Ia memejamkan mata, menunggu hujan berakhir. Ia sungguh gila.

Hujan kali itu lama, tidak deras memang, sedang saja. Perlahan namun pasti, ia mengguyur habis belahan bumi bernama Yogyakarta itu. Membasahi pula lelaki  itu, dengan segala sisa kenangan, yang baginya masih terhampar. Butuh seratus dua kerdipan, saat ia menyadari, bahwa airmata, sudah menghentikan nostalgianya.

Dan pada sebuah akhir guyuran sang hujan, ia tersenyum. Senyum yang diperuntukkan untuk sebuah perpisahan, yang tak perlu terjadi.


Sketsa Tanpa Warna


Gadis berlesung pipit itu duduk di ujung taman. Di sebuah kursi marmer yang agak kotor. Tangannya menggenggam foto tua. Ia terpejam beribu bahasa, sesekali ia mendekatkan sapu tangan kumalnya ke kedua mata. Sebuah tanda kalau ia sedang gulana. Di sebuah sore yang berhias senja. Gadis itu sendirian, dan pada sebuah foto tua di genggaman, tak ada yang tahu kalau ia sedang menggenggam harapan.

            Isak tangis di malam hari tak terhindarkan darinya. Padahal, ia sudah tak lagi berada di taman dan menggenggam sebuah foto. Ia sudah beralih di kamarnya yang sepi. Ia mengucap rundu berkali-kali, pada sepasang sosok yang sudah lama pergi. Lama… sampai ia pun tertidur dalam dekapan malam yang pandai menusuk tubuh dengan dinginnya.

            Ketika pagi pun akhirnya datang, ia belum beranjak dari kediaman. Dipeganginya perutnya yang lapar, sembari mendongak ke langit menatap angan yang perlahan pudar. Akan tetapi, ia belum lupa Tuhan, ia masih memujanya sampai mati.
Masih di pagi yang harusnya indah itu, ia kembali menggenggam sebuah foto. Dan masih di pagi yang harusnya indah itu, ia berujar rindu yang pada orang yang sama ke sekian kali. Melupakan rasa lapar yang ternyata sudah mulai mendera.

            Gadis itu…. Gadis itu kali ini berada di pinggir rel kereta. Ia memandang rangkaian gerbong yang berlalu lalang semenjak siang tadi. Ia, masih menggenggam foto tua. Berharap periode itu, akan segera berakhir.

            Gadis itu, masih terdiam. Ia menenteng tas yang hanya berisi sebuah album. Ia diguyur hujan kali itu. Tapi, tangannya masih menggenggan sebuah foto tua. Sama, setelah berhari-hari……

            Pada hari pertemuan, saat ia melepaskan tangannya dari sebuah foto, menuju potret yang sebenarnya. Ia pun menangis lega, sambil mengusap air mata, ia bergumam lirih “kalian kemana saja?

            Hari itu, ia menyadari. Bahwa sebuah foto tua, sebuah sketsa tanpa warna, membuatnya bertahan berhari-hari. Dari sebuah rindu yang menyiksa..    

ilustrasi -bapak ibu-

Buta

Ceritanya bermula dari sebuah film, yang filenya sudah di laptopku dari tahun 2010, saat aku kuliah. Film yang mungkin semua orang sudah p...