Sebuah mobil
mendadak melaju cepat, berderu ia, beradu dengan waktu. Didalamnya ada seorang lelaki paruh baya berpeci, dan
seorang anak gadis yang tengah bersolek lama sekali. Kamu tak akan paham dengan
caranya bersolek, kecuali setelah kau baca slogan Tut Wuri Handayani di saku
bajunya.
Anak gadis itu,
matanya tajam menatap cermin, berkeluh sesaat dan kemudian menyambar arloji
mahalnya. Dilihatnya jarum berdetak, saat ia menyadari pukul berapa sekarang,
lambat laun ia bercerocos tak pantas pada lelaki di belakang kemudi.
Dimarahinya ia sampai puas. Kelak kalian juga akan tau, bahwa anak gadis itu,
sedang menunjukkan kelas sosial tak bergunanya.
Sesampainya ia
di depan pintu gerbang bangunan tempatnya menuntut ilmu, ia menghambur masuk
dengan liarnya. Bau semerbak tubuhnya melayang kemana-mana, menjelaskan
identitasnya, yang juga tak berguna. Jejak kakinya mantap, penuh kedigdayaan
semu. Perangainya istimewa, istimewa yang tak pantas. Semua mata nanar menatap
ke arahnya. Dan ia pun berkelakar tentang posisi, dan juga harta ayahnya. Hari
itu ia mendapatkan satu hal, jika ada yang membuatmu tak nyaman, marahi saja !
Siang hari di
bawah pohon rindang, kujumpai ia memainkan sesuatu. Ponselnya yang berfitur
meriah, antingnya berayun angkuh, dan sepatunya menjejak pelan. Tapi, ia
kesepian. Tak ada tawa di parasnya. Sosoknya tersembul ego. Besar sekali
Rumahnya berhias taman, orangtuanya adalah
pejabat yang bertuan. Mobilnya berjejal tak karuan. Gadis itu, masih
menunjukkan atributnya, yang tentu saja tak berguna.
Lain
kali aku menemukannya, menangis sesenggukan, di belakang halaman. Ia tak punya
teman.