Rabu, 22 Februari 2012

Harapan ?

Hari minggu, 19 Februari 2012. Hujan mengguyur siang,sampai malam. Membasahi Yogyakarta di segala penjuru. Memuntahkan dingin serentak. Sopan sekali si hujan. Merusak jadwal bertemu ku dengan si pujaan hati.. hahahaa
Hari itu aku bertemu Arini, gadis tak beruntung yang sudah kupacari bertahun-tahun. Minggu memang hari kita untuk bertemu, setelah 6 hari dijanjikan hidup dengan rutinitas masing-masing. Sederhana sekali. Aku memacu motor ku dengan memboncengnya, di balik jas hujan silver. Sepintas kami mirip Panji Manusia Millenium.
Aku menuju salah satu mall tua di tengah kota, melihat-lihat hiruk pikuk orang yang tak kutahu sedang mencari apa. Setelah sampai, kutaruh motor di basement ground, lengang sekali. Orang-orang yang kutemui tampak sama, mereka kehujanan. Kami hanya hilir mudik melihat-lihat barang yang itu-itu saja. Walau akhirnya Arini hanya membeli dua pasang kaos balita untuk keponakannya, malam itu terasa sangat tidak biasa. Karena hujan, karena jas hujan, dan  karena sebuah cerita. Kami mampir di sebuah kafe, memesan makanan pengganjal perut, dan menceritakan kisah selama seminggu. Nothing special, karena rutinitas itu sudak agak biasa bagi kami.
Pukul 21.00, aku mengantarnya ke kos lama. Sebelum aku pamit pulang, kami sempat bercerita singkat. Kali ini topiknya agak sensitive. Tentang temannya kerja yang menaruh hati padanya. Aku menarik nafas, dan kudengarkan ia bercerita. Ya, lelaki mana yang tak terganggu saat pujaan hatinya ditaksir orang lain, walaupun aku sendiri tak begitu ambil pusing, karena aku yakin, gadisku tidak menggubris. Dia bercerita dengan agak emosi, karena teman kerjanya menyukainya secara terang-terangan. Arini pun pernah menolaknya secara terang-terangan, karena selain dia sudah punya aku, ia juga sama sekali tak menaruh hati pada teman kerjanya yang bagiku sangat menyebalkan itu ( yaiyalah). Arini pernah membentaknya, memarahinya, dan bilang secara gamblang tentang ketidaksukaannya. Teman kos nya pernah menasihati kalau sikapnya terhadap si cowok itu berlebihan, jahat, dan keterlaluan. Bilang secara langsung kalau dia tidak suka itu bagi kaum perempuan seperti hal yang kejam, walau aku pikir, perempuan, dalam kesadaran yang normal, bisa lebih kejam daripada itu. Hal itu tentu bisa menyakiti si penyuka. Walaupun dia dalam posisi yang kurang benar. Menyukai gadis non-single. Tahukah kamu , bahwa teman kos yang menasihatinya tadi ternyata sering jalan berdua dengan teman kerjanya juga, dan mereka sudah mempunyai pasangan masing-masing. Ya, kaca memang kadang rentan pecah. Karena jarang dipakai berkaca dan akhirnya usang. Well, itu deritanya, aku tak ambil pusing.
Terus terang saja, aku menyukai kejujuran seperti itu. Kalau boleh aku berpendapat, aku ingin mengajukan sebuah fakta tentang petikan cerita tadi, tentang cewek, kecenderungan sifatnya, dan sebuah ironi.
Disadari atau tidak, benar atau tidak, aku hanya bisa membedakan tipe cewek yang sedang ditaksir lawan jenisnya. Tipe pertama adalah tipe TTP (to the point), dan tipe kedua adalah tipe SBH (SlowButHurt). Tenang saja kawan, itu hanya sebuah istilah asal yang aku buat sendiri, tak perlu risau aku dituntut gara-gara plagiasi.
Oke, mari kita bahas tipe pertama, yaitu tipe TTP. Tipe ini cenderung berpikiran panjang, blak-blakan, dan aku yakin jumlahnya sudah langka. Cewek tipe seperti ini adalah tipe-tipe serius. Ketika ia ditaksir seseorang tapi ia sudah punya pasangan, ia akan secara terus terang bilang apa adanya, dan bilang kepada si cowok agar menjauhinya, agar tidak terdorong lebih jauh, agar ia tidak terlanjur jatuh cinta.  Ia akan serta merta menolaknya di awal kepada si cowok. Walau sekilas kelihatan kejam, justru inilah sikap yang diharapkan banyak cowok. Seperti istilah, take it or leave it. Sebuah hubungan yang sudah terlarang, harus secepatnya diakhiri. Selesai
Akan tetapi, cewek dengan tipe SBH, tidak akan menyetujui paradigma seperti itu. Mereka punya kepribadian sendiri. Seperti ini kawan, cewek tipe kedua ini justru menganggap to the point itu kejam, dan ia akan lebih memilih menunggu untuk ditinggalkan. Mereka tidak tegas, cenderung bermuka dua, and you have to believe me, mereka jauh lebih kejam dari tipe pertama. Kalau mereka didekati dan disukai cowok, saat ia sudah punya pasangan, cewek tipe ini akan menyambutnya dengan senyum. Mereka bersikap baik, mereka menanggapi semua sikap si cowok dengan suka cita, tak pernah tak mau saat diajak pergi dan ia tak pernah memperlakukan si cowok dengan buruk, ia takut melukai hati si cowok kalau ia berterus terang tentang keadaan yang sebenarnya. Ia tak mau dimusuhi dan dijauhi si cowok itu, di lain sisi, ia tak mau kehilangan kekasihnya yang sesungguhnya. How arrogant she is  . Istilah familiar yang biasa kita kenal adalah cewek dengan seabrek harapan. Kita tau lah, cowok mana yang tak suka saat sms nya selalu dibales, telponnya selalu diangkat, gurauannya selalu ditanggapi, dan ajakan makan malamnya selalu disanggupi. Tapi diatas semua itu, saat si cowok mengungkapkan isi hatinya suatu hari, cewek ini akan menjawab seraya menangis, “maaf aku udah punya cowok, aku Cuma gamau nyakitin kamu” jegerrrrrrrrrrrrrrrrr.. justru sikapnya selama ini yang lebih menyakitkan. A fake hope, sebuah harapan palsu.  Saat mendengar jawaban itulah, si cowok serasa tertusuk duri sepanjang 25 meter. Ditimpa menara Eiffel, dan terbawa banjir lahar dingin, Rasanya campur aduk, dan yang pasti, sakit sekali. Yes, maybe it could be forgiven, but not forgotten.
Kalau kita analogikan, cewek tipe pertama adalah ibarat balon gas dengan gas yang sudah tipis, saat ia membawa kita terbang, dan akhirnya kehabisan gas, ia akan jatuh, tapi sakitnya hanya sebagian kecil saja, karena ia belum terlalu tinggi terbang, ia terhempas saat akan naik, dan hanya butuh waktu sebentar untuk recovery.

Sementara cewek tipe kedua adalah balon gas dengan helium full. Ia akan bisa membawa kita terbang kemana saja, setinggi apapun, tapi saat ia kehabisan gas di ujung angkasa sana, ia akan jatuh dengan luka yang sangat lebar. Parah, bahkan pingsan berbulan-bulan, dan lebih parahnya, mati. Mati dengan membawa segumpal penyesalan. Akan butuh waktu lama untuk sembuh, kalaupun sembuh, ia tak akan bisa seutuh dulu. How dare..
Yah, itu hanya analogi saja. Yang pasti, itu adalah sebuah wacana dariku saja, setelah beberapa hari lalu aku kepikiran untuk mengangkatnya sebagai topic utama. Cewek, menanggapi sesuatu dengan hati, cowok, menafsirkan semuanya berdasarkan logika. Kata Raditya Dika, cinta mungkin buta, dan kita hanya membutuhkan a fit-glasses, kacamata yang pas.

Aku menutup minggu ku dengan salam rindu, melepasnya ke gunung untuk mencari nafkah, untuk masa depan kita nanti. Aku mengharapkannya setia sampai mati, dan aku akan belajar untuknya tentang hal yang sama.

See you next Sunday. With another story…

Jumat, 10 Februari 2012

Aku memanggilnya " I B U "


10 Februari, hari dimana kali ini kulalui dengan duduk seharian menghadap computer. Kutulis karangan pendek ini bukan sebagai tugas Bahasa Indonesia, melainkan sebagai bukti. Bukti kecil kalau aku sangat mencintai ibuku… Kenapa aku bilang kecil? Karena seberapapun besar bakti kita untuk ibu, tak ada bandingannya dengan apa yang sudah ia lakukan kita semenjak lahir. How great it is, and always will be.


Hari ini adalah ulangtahun ibuku, ulangtahunnya yang ke 47. Di umur yang telah menua, beliau masih sibuk dengan profesinya. Ibuku adalah manusia paling super. Ia bangun setiap jam 3 pagi, memasak sayur, memasak lauk, yang akan kami jual di warung kecil kami di dekat jalan raya. Pekerjaan yang selalu ia ulang bertahun-tahun semenjak aku memasuki kelas 1 SD. How long it’s been ? ya, kalian bisa menghitungnya sendiri J
Kalau aku pikir, ibuku sangat sebentar beristirahat, tapi entah kenapa, setiap aku memintanya untuk beristirahat , jawabannya selalu begini “Gaweane rung rampung le, mengko wae”. Dan pernah satu ketika kudengar darinya bahwa dari sinilah tenaganya yang seperti tak pernah habis itu ia ungkapkan , “Ngerti ra le opo sing gawe bapak ibuk semangat dodol ngene iki? Yo mung kowe karo Risma (adikku-red)”. Simpel kan? Tapi kata-kata itu selalu terngiang di otakku, bahwa semenjak hari itu aku tidak akan pernah mengecewakan ibuku.
Ibuku mungkin hanya penjual nasi sayur, SMP pun tak lulus, tapi yang membuatku bangga beribu-ribu kali lipat adalah  bahwa ia yang berangkat dari latar belakang seperti itu, sanggup mengantarkanku menyelesaikan pendidikan di bangku kuliah. Kadang aku malu, kadang aku tertampar, tiap kali aku mengeluh atas hidupku, atas pekerjaanku, aku selalu mengingat orangtuaku, entah bapakku, entah ibuku. Mereka lebih tak beruntung dariku dari sisi pendidikan, tapi mereka sanggup membuatku seperti ini, paling tidak kalian harus tahu kawan, aku adalah sarjana pertama dari dua keluarga bapak dan ibuku. Kalian tau sebesar apa kebanggaan sekaligus beban yang aku punya? J

Hari ini aku, pukul 15.57, di depan meja kerjaku, menunggu waktu pulang. Aku akan membeli martabak. Martabak, ya hanya sebuah martabak. Aku tau ibuku tidak begitu menyukai segala macam perayaan. Jadi, aku hanya akan mebelikannya martabak sambil kuucapkan selamat ulangtahun untuknya. Aku paham ini sangat tidak special, sebungkus martabak jelas sebuah lelucon bagi sebagian besar orang. Tapi tahukah kalian , saat ibu kubelikan kue ulangtahun tahun lalu dan aku memberikannya bersama  adikku. Ibukku menangis dan berkata “ Le, Nok, ora perlu tuku2 roti ngene iki, ibuk wes seneng nek koe do semangat sekolah ro kuliah, kui hadiah seng paling gedhi nggo ibuk”..
 Sekali lagi, aku tidak bisa berkata apa-apa.

Untuk setiap doa yang kupanjatkan, selalu doa untuknya nomor satu, selain bapak. Orang-orang hebat ini akan selalu menjadi malaikat. Orang-orang ini akan selalu menjadi superhero yang sebenarnya. Mereka akan selalu jadi dinding, yang tak akan pernah bisa kulompati. Mereka lah ibu dan bapakku.


Happy birthday Mom, I promise, I will make you proud.

Rabu, 08 Februari 2012

I cried for my Brother Six times

 Malem mates, jumpa lagi dengan si pesakitan bodoh ini.. Kali ini aku cuma mau share, tentang sebuah cerita yang aku bca di situs motivasi, aku pikir ada baiknya bagi bacaan penguras emosi. Buat yang udah pernah baca, bolehlah flashback baca lagi, buat apalan ujian hidup, haha. Yang belum baca, hey ayo baca.. mumpung malem masih belum larut. :D
Well, ga usa basa-basi. inilah cerita singkat itu. Lets rock ...



Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari. orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku. Yang mencintaiku lebih daripada aku mencintainya. Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluhsen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu ditangannya. "Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau
mengatakan. "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!" Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba. adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah. aku yang melakukannya!"
    Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan napas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!" Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata. "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi." Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang
adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11. Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP. ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas provinsi. Malam itu. ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik.hasil yang begitu baik" Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?" Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya. Kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."
  Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga. Suatu hari. aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan,
"Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!" Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?"
Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?" Aku merasa terenyuh. dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga!
Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..." Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. la memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki
satu."
Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu. ia berusia 20. Aku 23. Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? la terluka ketika memasang kaca jendela baru itu." Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan membalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya.
'Tidak, tidak sakit. Kamu tahu. ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan." Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya. dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26. Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami. tetapi
mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu saja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini." Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut, la bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari. adikku di atas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu. "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau
mendengar kami sebelumnya?" Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya.
"Pikirkan kakak ipar --ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa
yang akan dikirimkan?"
Mata suamiku dipenuhi air mata. dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: 'Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!"
"Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku.
Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.
Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku." la melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari. Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya, la hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan
baik kepadanya."
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan
perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini. di depan kerumunan perayaan ini. air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai. (Dari "I cried for my brother six times -swaramer)

Buta

Ceritanya bermula dari sebuah film, yang filenya sudah di laptopku dari tahun 2010, saat aku kuliah. Film yang mungkin semua orang sudah p...