Sabtu, 13 Oktober 2012

The Story Of Secret Admirer



The story of Secret Admirer
Sebuah sms terpampang pada  ponsel  seorang temanku sore itu, sebutlah ia Ratih. Ratih kemudian membukanya dengan refleks. Sebuah nomor tak dikenal ia temukan dengan serangkaian pesan singkat. Sms itu berbunyi “kamu cantik”. Ratih melengos setelah membacanya, dan kemudian sms itu dihapusnya tanpa pikir panjang.
Pernahkah kalian mengalami peristiwa demikian? Entah itu pada posisi Ratih, atau malah sebagai si pemilik nomor tak dikenal? Sungguh, aku yakin sebagian besar dari kalian menjawab “pernah”, walaupun mungkin pada kondisi yang berbeda.
Kisah diatas merupakan salah satu gejala dalam kehidupan. Kita ditakdirkan untuk menarik dan tertarik. Estetika diciptakan Tuhan untuk memperlengkap hidup, dan ia akan muncul saat kita menjumpai sebuah hal yang istimewa untuk dimiliki. Admire, begitulah kosakata super keren orang Inggris yang kemudian kita pahami sebagai “memuja” dalam serapan bahasa yang kita gunakan.
Kita lebih bisa memahami arti kata admire saat menyukai lawan jenis kita secara sembunyi-sembunyi. Hal itulah yang lambat laun naik derajat menjadi rahasia. Kelak kita akan menyandang status Secret Admirer saat sesuatu yang terpendam, lebih berharga jika tanpa seorangpun yang tau.
Menarik untuk dikaji, karena admire secretly adalah sebuah keadaan mengagumi yang indah, sekaligus menyiksa. Kompleksitasnya sanggup menggugah perasaan siapa saja.
Maka dari itulah,  akan lebih baik jika saja aku memberikan sebuah cerita mengenai hal ini. kebetulan  sekali karena aku pernah beberapa kali menyandang status tak berdosa itu. :D. Mari disimak.

Kita akan menuju tahun 1998. Tahun revolusioner bagi Negara amburadul kita ini. Aku masih duduk di kelas 4 sebagai anak penurut bagi kedua orangtuaku waktu ituJ.
Saat itu adalah saat dimana aku belum menyadari bahwa Hitler sudah mati, aku lebih sibuk pada bagaimana aku merayu bapakku agar mendapat uang jajan lebih, karena aku suka sekali membeli batagor sepulang sekolah. Kisah SD ku agaknya memang biasa saja, lumrah diceritakan sebagai masa-masa yang agak special, yaaa karena itu tadi, masalah seputaran uang jajan dan perasaan waswas karena aku menuju periode waktu yang mengerikan, disunat.
Waktu itu aku duduk di halaman rumah sepulang sekolah, aku mengeluarkan kelereng ku yang sensasional. Aku akan bertarung kelereng dengan teman-temanku hari itu. Sebuah rutinitas yang saat itu kuakui sangat seru. Kalian harus tau, facebook belum ada di jaman itu, sehingga masa-masa kecilku hanya dihiasi kantong celana yang sobek akibat sering kujadikan wadah kelereng jika saat menang besar.
Kebetulan hari itu adalah hari sialku, koleksi kelerengku ludes. Aku dikalahkan dengan memalukan. Tanpa perlawanan yang mungkin bisa dijadikan alasan. Kemudian aku memutuskan untuk beranjak dari tempat itu. Aku sudah bisa memahami sebuah kekalahan waktu itu. Rasanya sungguh menyesakkan.
Aku berjalan menuju sungai di belakang Hotel Sahid, agak jauh memang. Di tempat itulah aku biasanya menemani Mbah Jo, menggembalakan bebek, dan hal itu sangat menghiburku, dalam keadaan apapun. Kekalahan bermain kelereng hari itu, kuanggap titik nadir, dan maka dari itulah aku membutuhkan suasana di sungai itu untuk membunuh kekesalanku. Singkat cerita, saat berjalan itulah aku berpapasan dengan tetanggaku, beberapa orang teman perempuanku bersepeda. Aku lupa siapa saja , hanya saja ada satu yang tak kukenal. Seorang gadis berambut panjang, mengenakan baju dan rok sederhana. Tersenyum simpul kepadaku kemudian menunduk. Mata kami bertemu hanya sepersekian detik, namun, kusadari bahwa tanpa diperintahkan, tatapan ini mengejarnya sampai ia lenyap dibalik tikungan kampung. Kelak aku tau, bahwa gadis itu adalah warga baru di kampungku. Dan, aku tak bisa menampik kalau aku tertarik padanya saat itu juga. Jangan tertawa.
Hari-hari berikutnya aku tidak lagi sibuk merengek minta uang jajan bapakku, atau menyusun rencana pembalasan dendam atas terkurasnya kelerengku tempo hari, aku lebih disibukkan dengan mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang gadis berambut panjang yang kutemui kemarin lusa. Aku menanyakan kesana-kemari (dengan basa-basi dan tanpa kujelaskan maksudnya) kepada siapapun teman seumuranku yang kukenal. Nihil. Tak seorangpun tau siapa dia. Aku serasa memasuki kesibukan luar biasa(lebay) yang kuciptakan sendiri. Hari itu adalah hari dimana seorang anak kecil ingusan tanpa celana dalam, untuk pertama kalinya tertarik pada seorang gadis. Entah kenapa, mungkin Tuhan bosan melihatku menjalankan aktivitas yang itu-itu saja, maka dibangkitkannya lah hasrat di dalamku. Aku tak bisa apa-apa kawan. Dan aku memahami dari hari itu, bahwa seorang gadis yang tak kaukenal, sanggup mengacaukan duniamu dalam sekejap.
Aku tak kenal lelah, dan tak terasa setahun pun berlalu. Dan kau tau? pada akhirnya, aku berhasil mengetahui namanya. Setelah setaun !
Kusamarkan dia dengan nama “Kenanga”. Biar keren dan tentu saja melindungi identitas gadis itu dari persepsi kalian yang membaca ini.  Kenanga lebih tua setahun dariku. Dan yang membuatku geram setengah mati adalah bahwa rumahnya hanya beda 4 rumah dariku. Dan aku mengetahuinya setelah setaun, sekali lagi, setelah setahun. Mengenaskan.
Kenanga adalah tipe gadis pemalu. Ia hanya bicara jika perlu. Berbanding terbalik denganku yang hobi membual. Aku mengenalnya hanya sebatas nama, aku tak berani mengajaknya bicara, bahkan bertemu dengannya. Aku hanya beranii memandangnya dari kejauhan. Ia tak sadar bahwa mulai hari itu hidupnya kujejali mimpi, bahwa suatu saat, aku dan dia akan berbicara tentang sebuah pengakuan. Entah kapan.
Masa SD yang harusnya menyenangkan itu serasa tambah menyenangkan bagiku, karena sebuah rasa kagum yang terpendam pada seorang gadis tetangga. Yang hanya kutau nama dan tanggal lahirnya. Aku masih berada pada fase “ingin kenalan”, tapi Tuhan ternyata menumbuhkan jiwa pengecut padaku saat itu. Aku ingin berinteraksi dengannya, tanpa bertatap muka langsung. Kemudian terlintas di kepalaku sebuah gambar kertas dan amplop. Ya, aku akan menyuratinya. Surat berisi sebuah pengakuan kepada seorang gadis yang lebih tua dariku. Sungguh tidak gentleman.
Aku sibuk menata bait kata pada selembar kertas yang akan dia baca ini. Bingung. Bagaimana aku memulainya? Ingat, aku masih 10 tahun saat itu, dan aku sudah berpikir bagaimana menggaet hati seorang gadis. Setelah mencoret-coret tak karuan, dan setelah berdoa pada Tuhan beberapa kali, aku mulai menuliskan sebuah niat bahwa aku ingin sekali berkenalan dengannya. Beres. Tapi kemudian timbul lagi satu masalah. Bagaimana aku memberikan surat ini? Kapan? Dalam event apa? Oh God, help me one more time .
Akhirnya setelah berusaha kurang maksimal, akupun menitipkannya pada seorang temanku yang kebetulan kenal dengan kenanga. Pengecut part 2 kan?
Tiba akhirnya pada masa-masa mengerikan selain disunat. Masa-masa menunggu balasan si surat. Pada saat itulah aku tak berani lagi mencuri-curi pandang kenanga. Aku takut kalau saja dia sudah membaca surat itu dan menyobeknya. Pernah suatu ketika kami tak sengaja berpapasan. Aku hanya menunduk dan dia pun berlalu. Lagi-lagi tidak keren. Sebulan, kira-kira, setelah aku mengirimnya surat, temanku yang kupaksa jadi kurir cinta itu datang ke rumahku membawa sepucuk surat beramplop pink. Aku menerimanya dengan senang sekaligus waswas. Kira-kira apa isinya? Sebuah sambutan? Atau cacian? Atau malah selembar uang seribu untuk membeli batagor? Ahh lupakan saja.
Aku memberanikan diri membacanya setelah dua hari sejak surat itu tiba. Aku tidak melafalkan bismiillah saat menyobek bagian atas amplop karena belum akil balig. Kujumpai sebuah bacaan kira-kira begini “dear Adit…” (sumpah pengen muntah rasanya cerita masalah ini) :D
Kuteruskan membacanya kata demi kata, aku belajar untuk menjadi seorang laki-laki saat itu, dan siap akan segala jawaban yang mungkin akan membuatku kecewa. Setelah beberapa menit tenggelam dalam dunia suratnya, aku akhirnya bisa tersenyum simpul. Suratku, yang berisi basa-basi tak penting tentang ajakan sebuah perkenalan, dibalasnya dengan sebuah sambutan bersedia. Aku adalah manusia paling bahagia yang diciptakan Tuhan pada periode sebelum sunat itu. Semenjak hari itu, aku berkirim surat dengan kenanga. Membicarakan hal-hal yang kuakui kurang penting, dan aku menyukai nuansa saat itu. Tapi tetap saja, kami saling menunduk saat kami tak sengaja berjumpa. Konyol sekali. Pada pertengahan cerita ini, pangkatku turun, sudah bukan Secret Admirer lagi. Aku menjadi Admirer teng-terangan.
Dua tahun sejak tatapan mata pertama itu, aku bertemu dengannya pada waktu yang tanpa diduga-duga. Di rumah temanku, saat aku akan meminjam sebuah kaset band Tipe-X yang gandrung dengan aliran ska-nya itu. Aku dan Kenanga tak sengaja bertemu saat ada di ruang tamu rumah temanku, kelak aku akan tau kalau kita ini dijebak oleh si empunya rumah, dan saat itu juga emosiku terkalahkan pada sebuah kesadaran bahwa cepat atau lambat, periode seperti ini akan terjadi juga. Maka, aku harus berani berbicara dengannya, karena ia sudah ada di depanku semenjak 10 menit yang lalu. Dan, tak ada satupun kata yang kami keluarkan. Aku bingung, maka aku berdoa lagi memohon kekuatan agar mampu memecah kesunyian dengan suara. Aku akhirnya mampu. Satu kata yang akhirnya keluar adalah “apa kabar” dan setelah itu, perbincangan kami direstui Tuhan. Kami bercerita tentang apapun, dari sikapnya saat itu, aku belum menyadari, bahwa Kenanga mempunyai perasaan yang sama terhadapku (pengakuannya kuketahui 7 tahun setelah cerita ini). Aku terpenjara pada sebuah keyakinan bahwa perasaanku kepadanya, hanya satu arah saja. Aku terpuruk pada sebuah prasangka yang kubuat sendiri. Perbincanganku dengannya hari itu, adalah yang pertama, dan mungkin yang terakhir. Setelah itu, hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, kami tak pernah lagi berinteraksi. Aku masuk SMP, dia juga. Dia masuk SMA, aku persiapan UAN SMP. Waktu terasa sangat cepat berlalu, dengan berbagai macam alasan yang membuatku  semakin jauh dengannya. Aku mungkin sudah jatuh cinta dengan orang lain, begitu juga dengannya, tanpa pernah mengusik lagi sebuah cerita yang belum selesai. Mengenaskan, lagi-lagi.

Jaman aku mulai kuliah, tahun 2007. Aku tak sengaja lagi bertemu dengannya di sebuah jalan kampung. Lucu memang, rumah kami berdekatan tapi jarang sekali bertemu, serasa ada sebuah benua mungkin di antara rumah kami, entahlah. Aku menyapanya saat itu, dia membalas sapaanku dengan senyum. Malamnya, aku menerima sebuah pesan singkat, nomor tak dikenal. Hanya sebuah greeting “Adit, apa kabar?”
Kubalas sms itu, dan ternyata itu adalah nomor Kenanga. Aku kembali pada masa-masa kecil dulu, hanya saja ponselku kini menggantikan surat sebagai ajang kami bercerita. Aku dan Kenanga larut pada zaman sms, padahal rumah kami hanya beberapa jengkal, tapi yaah kalian pasti juga paham, kalau tulisan kadang lebih bisa berbicara yang sebenarnya daripada mulut. Kami bertukar cerita, tentang apapun, kabar, kesibukan, dan mungkin sedikit basa-basi. Dia menanyakan apakah aku sudah punya pacar. Kujawab sudah, dan dia pun menceritakan bahwa dia juga sudah. Aku tersenyum saat itu. Kami ini hanya manusia yang dipermainkan oleh waktu, dan oleh kebodohan kami sendiri. Dia pernah mengungkit masa lalu kami, dan kami hanya menertawakannya. Sudah tidak ada lagi perasaan yang harus diselesaikan, kami hanya menganggapnya sebuah cerita yang tak perlu dibicarakan lebih lanjut, dia pernah menyesalkanku bahwa dia suka padaku. Dan dia menyesal bahwa dia tidak berusaha mengenalku lebih jauh saat itu. Aku mungkin mempunyai tanggapan yang sama. Tapi, semuanya sudah selesai. Hubunganku dengan Kenanga baik-baik saja, bahkan dia pernah berkenalan dengan Arini, gadisku yang sekarang. Tidak ada lagi apa-apa, semua sudah dikembalikan pada keadaan semula oleh Tuhan, pada sebuah masa dimana tatapan mata di siang itu, tahun 1998, belum terjadi.
Dia sudah menikah bulan April tahun ini, dan menitipkan pesan padaku bahwa aku harus menyusulnya bersama Arini. Kuanggap itu sebuah doa yang harus kuamini.
Beginilah, sebuah cerita yang cukup panjang, kutandatangani sebagai sebuah tema blog ini, dan kuakhiri hari ini juga. Manusia, pernah mengagumi, dan dari rasa kagum itulah, sebuah masa depan yang bagaimana, terserah pada seberapa besar tekadmu mewujudkannya.





Senin, 01 Oktober 2012

Seruan hampa Ayahanda

Dan kisah itu berjalan cepat sekali, seperti seuntaian elegi.
Sinar matanya sudah redup, ia lelah luar biasa.
Kelak kau akan lihat padaku, sebuah mobil-mobilan kayu
Teronggok megah tanpa pernah kutau
Yang diberikannya, saat senja di akhir November

      Ia memegang cangkul yang berujung karat
      Dicampakkanya aku, di sebuah dipan saat pagi menjejak maju
     Aku terpana, pada sebuah cinta yang tak kusadari
     Bahwa hari itu, ia memperjuangkanku sebuah nasi jagung, yang tak pernah mau kumakan

 Hari itu, saat tangisku menggema tak merdu
 Ia menggengam tanganku, dan mengusap rambutku penuh harap


              Dan saat siku tanganku berdarah, ia menyeka mataku hingga kering
              Mata yang tak mampu melihat kehebatannya dengan saksama


Salahkah aku, saat akhirnya ia berseru, dan aku tak mendengarnya.

                Ayahanda, tak pernah menganggapnya sebuah dosa










Buta

Ceritanya bermula dari sebuah film, yang filenya sudah di laptopku dari tahun 2010, saat aku kuliah. Film yang mungkin semua orang sudah p...