Rabu, 12 Oktober 2016

Deja Vu

Pertengahan Oktober 2014 yang lengang, di sebuah kafe remang tempatku menyalakan laptop.
Kafe ini sepi, kafe yang sangat kusukai untuk melepas lelah. Suasana yang tenang, lampu yang menyala malas, dan segelas coklat selalu kupesan tiap kali singgah. Tak ada yang lebih melegakan selain ini.
Laptop ku sudah menyala – lebih tepatnya laptop adikku yang kupinjam- , dan aku kembali membuka file microsoft excel yang sudah beberapa tahun kuakrabi. Deretan angka, lika-liku rumus berkelebatan tiap kali aku pelototi, semuanya sudah terasa tak asing, dekat sekali dengan ingatan payahku yang terbatas di jam-jam tertentu.
Kuambil pulpen pilot dari saku tas , kugoreskan diatas nota tagihan yang selalu datang tiap hari di hidupku, aku malas saja, sambil membayangkan hal apa saja yang sudah terjadi hari ini.
Aku memang seperti ini, aku suka sekali mengingat-ingat hal yang sudah terjadi. Aku suka sekali mengingat tempat-tmpat mana yang kusinggahi. Entah mengapa, aku menikmati saat-saat menikmati musik bernada halus dan seakan membantuku bertelusur dimensi waktu yang kuciptakan sendiri.


“Hobi” aneh ini sudah berlangsung lama, jauh semenjak aku masih berbalut seragam sekolah menengah. Aku sering kali iseng berjalan-jalan sendiri ke suatu tempat, tanpa tujuan, sambil mengingat-ingat tempat yang sudah pernah kudatangi. Esensi apa yang kudapat, sensasi apa yang kudapat, tak jadi soal. Aku nyaman dengan itu semua.
Aku bisa merasakan bau darah dari bekas tempat aku memenggal ikan yang kujaring di sungai saat aku kelas 5 SD di belakang Atma Jaya. Disitulah pertama kali aku melakukan pembunuhan terhadap makhluk Tuhan yang tak berdosa.
Aku ingat makian tetanggaku saat anaknya kuhajar gara2 mengempeskan sepedaku di rintik hujan Caturwulan ketiga ke as 1 SMP. Dahinya membekas memar setelah itu dan ibunya dendam padaku bertahun-tahun sebelum menyadari bahwa itu hanya kenakalan anak kecil biasa.
Dari kebiasaan ini pula aku sering dianggap teman-temanku punya ingatan yang kuat tentang kejadian-kejadian saat dulu pernah satu lingkaran dengan mereka. Contohnya saat salah seorang temanku bertanya siapa yang kentut saat pelajaran biologi. Ya, aku ingat. Bahkan aku ingat hari apa dan siapa gurunya saat itu.
Mungkin juga dari kebiasaan itu pula aku jadi susah berdamai dengan masa laluku. Setiap momen yang tidak terlupakan, entah baik atau buruk, aku akan selalu ingat itu.
Beberapa tahun terakhir bahkan aku lebih memanjakan kebiasaanku ini. Aku memang jarang bepergiian, tapi semua tempat yang pernah kudatangi, dan apa yang sudah kulakukan, dengan siapa. Aku masih mengingatnya.
Warnet, hotel, taman bunga, gorong –gorong, wc sekolah, gudang sepeda, Stasiun, terowongan sungai, warung ikan, rok teman, ruang guru, kantin sekolah, mimbar masjid,gazebo pantai, hutan gunung, semua tempat itu ada memori kuat, tentang apa yang sudah terjadi, dengan siapa, dalam rangka apa, dan kapan saja. Suatu kali aku mengunjunginya lagi hanya untuk diam menikmati aku yang masih hidup dan mengingatnya sebagai alibi rindu akan kehidupan yang sudah pernah terlewati. Ada banyak kenikmatan yang aku rasakan disana. Dan aku biasanya akan diam selama beberapa menit. Mencoba bersyukur atas momen baik, dan mencoba memohon ampun, memaaafkan hidup dalam momen yang buruk. Sesederhana itu aku menyimpulkan kebiasaanku ini.
Dari dalam kafe remang, seiring pekerjaan yang kuakhiri karena mata berair akibat mengantuk, sesekali aku melirik sepasang kursi dan meja disana, pada sebuah kisah yang dipaksakan selesai, dan pada dua buah gelas penuh minuman dingin yang utuh. Aku mencoba tersenyum. Aku akan kembali lagi ke sini suatu hari nanti. Demi Dejavu.


Buta

Ceritanya bermula dari sebuah film, yang filenya sudah di laptopku dari tahun 2010, saat aku kuliah. Film yang mungkin semua orang sudah p...