Pertengahan Oktober 2014 yang lengang, di sebuah
kafe remang tempatku menyalakan laptop.
Kafe ini sepi, kafe yang sangat kusukai
untuk melepas lelah. Suasana yang tenang, lampu yang menyala malas, dan segelas
coklat selalu kupesan tiap kali singgah. Tak ada yang lebih melegakan selain
ini.
Laptop ku sudah menyala – lebih tepatnya
laptop adikku yang kupinjam- , dan aku kembali membuka file microsoft excel
yang sudah beberapa tahun kuakrabi. Deretan angka, lika-liku rumus berkelebatan
tiap kali aku pelototi, semuanya sudah terasa tak asing, dekat sekali dengan
ingatan payahku yang terbatas di jam-jam tertentu.
Kuambil pulpen pilot dari saku tas ,
kugoreskan diatas nota tagihan yang selalu datang tiap hari di hidupku, aku
malas saja, sambil membayangkan hal apa saja yang sudah terjadi hari ini.
Aku memang seperti ini, aku suka sekali
mengingat-ingat hal yang sudah terjadi. Aku suka sekali mengingat tempat-tmpat
mana yang kusinggahi. Entah mengapa, aku menikmati saat-saat menikmati musik
bernada halus dan seakan membantuku bertelusur dimensi waktu yang kuciptakan
sendiri.
“Hobi” aneh ini sudah berlangsung lama,
jauh semenjak aku masih berbalut seragam sekolah menengah. Aku sering kali
iseng berjalan-jalan sendiri ke suatu tempat, tanpa tujuan, sambil
mengingat-ingat tempat yang sudah pernah kudatangi. Esensi apa yang
kudapat, sensasi apa yang kudapat, tak jadi soal. Aku nyaman dengan itu semua.
Aku bisa merasakan bau darah dari bekas tempat aku memenggal ikan yang kujaring di
sungai saat aku kelas 5 SD di belakang Atma Jaya. Disitulah
pertama kali aku melakukan pembunuhan terhadap makhluk Tuhan yang tak berdosa.
Aku ingat makian tetanggaku
saat anaknya kuhajar gara2 mengempeskan sepedaku di rintik hujan Caturwulan ketiga
ke as 1 SMP. Dahinya membekas memar setelah itu dan ibunya dendam padaku
bertahun-tahun sebelum menyadari bahwa itu hanya kenakalan anak kecil biasa.
Dari kebiasaan ini pula
aku sering dianggap teman-temanku punya ingatan yang kuat tentang
kejadian-kejadian saat dulu pernah satu lingkaran dengan mereka. Contohnya saat
salah seorang temanku bertanya siapa yang kentut saat pelajaran biologi. Ya,
aku ingat. Bahkan aku ingat hari apa dan siapa gurunya saat itu.
Mungkin juga dari
kebiasaan itu pula aku jadi susah berdamai dengan masa laluku. Setiap momen
yang tidak terlupakan, entah baik atau buruk, aku akan selalu ingat itu.
Beberapa tahun terakhir
bahkan aku lebih memanjakan kebiasaanku ini. Aku memang jarang bepergiian, tapi
semua tempat yang pernah kudatangi, dan apa yang sudah kulakukan, dengan siapa.
Aku masih mengingatnya.
Warnet, hotel, taman
bunga, gorong –gorong, wc sekolah, gudang sepeda, Stasiun, terowongan sungai,
warung ikan, rok teman, ruang guru, kantin sekolah, mimbar masjid,gazebo
pantai, hutan gunung, semua tempat itu ada memori kuat, tentang apa yang sudah
terjadi, dengan siapa, dalam rangka apa, dan kapan saja. Suatu kali aku mengunjunginya
lagi hanya untuk diam menikmati aku yang masih hidup dan mengingatnya sebagai
alibi rindu akan kehidupan yang sudah pernah terlewati. Ada banyak kenikmatan
yang aku rasakan disana. Dan aku biasanya akan diam selama beberapa menit.
Mencoba bersyukur atas momen baik, dan mencoba memohon ampun, memaaafkan hidup
dalam momen yang buruk. Sesederhana itu aku menyimpulkan kebiasaanku ini.
Dari dalam kafe remang,
seiring pekerjaan yang kuakhiri karena mata berair akibat mengantuk, sesekali
aku melirik sepasang kursi dan meja disana, pada sebuah kisah yang dipaksakan
selesai, dan pada dua buah gelas penuh minuman dingin yang utuh. Aku mencoba
tersenyum. Aku akan kembali lagi ke sini suatu hari nanti. Demi Dejavu.